AGAMA DAN DISRUPSI


Salam Kebajikan,

Kalau kita amati, sekarang telah terjadi perubahan fundamental dalam kehidupan kita, banyak hal-hal baru yang tak terbayangkan sepuluh tahun yang lalu, dengan kecepatan eksponensial menyeruak menggantikan dan menjungkirbalikkan hal-hal yang dulu kita anggap sebagai ketangguhan tak tergoyahkan.

Bajaj, taksi dan ojeg konvensional digantikan oleh grab dan gojek. Pusat-pusat perdagangan mulai bergeser menjadi pusat-pusat kuliner, toko-toko di dalamnya yang menjual produk sepi pengunjung secara perlahan namun pasti mulai tergeser oleh bisnis online yang menjamur. Cara pembayaran perlahan namun pasti bergeser menjadi cashless, di beberapa negara telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari, di Indonesia takkan lama lagi akan seperti itu karena lebih cepat dan efisien.

PT. Pos Indonesia sedang berupaya untuk survive di tengah gempuran kemajuan yang membawa implikasi berubahnya pengiriman pesan dari surat ke surat elektronik dan pengiriman uang dari wesel ke transfer. Ucapan selamat tahun baru tidak lagi menggunakan kartu ucapan yang dikirim dengan perangko, cukup dengan sentuhan jempol melalui telpon pintar. Lalu lintas uang telah berubah total, minimarket-minimarket telah menjadi lalu lintas pengiriman uang, tidak lagi menjadi monopoli kantor pos atau bank. Budaya kerja PT. Pos Indonesia tidak siap mengambil peluang meledaknya bisnis online, yang akhirnya penanganan logistiknya menjadi berkah tersendiri bagi JNE, Tiki, J&T, gojeg dan grab.

Banyak merek-merek dagang yang dulu berjaya tumbang, digantikan oleh jenis produk atau cara bisnis yang baru. Begitulah para ahli manajemen dan pemasaran menggambarkan era disrupsi, era perubahan yang sangat fundamental dalam dunia bisnis.  Produk dan bisnis konvensional tercabut dari akarnya digantikan oleh bisnis berbasis internet.

Era kolaborasi telah dimulai dengan sangat cepat. Berbagai kepentingan saling bekerja sama, mengalahkan para raksasa yang lamban mengantisipasi perubahan. Perubahan selalu menciptakan krisis, krisis menyajikan ancaman dan peluang. Selalu ada dua sisi, hukum yin yang tak pernah lekang dalam situasi apapun.

Disrupsi bukanlah sekedar mengenai dunia bisnis tapi berbagai bidang kehidupan yang lain turut terdisrupsi. Hubungan sosial berubah dengan cepat, orang-orang yang jauh nampak menjadi dekat, orang yang dekat menjadi jauh. Orang sibuk dengan smartphone. Dunia menjadi mengecil, hubungan keluarga menjadi menjauh. Anak-anak tidak lagi bermain petak umpet tapi asyik berjam-jam bermain game online. Berita dari berbagai penjuru dunia terakses dengan sentuhan jari. Pengetahuan dengan mudah didapat dengan satu dua klik saja. Siswa saling berdiskusi melalui skype atau voice mail untuk mengerjakan tugas tanpa perlu bertemu secara fisik. Pola hidup berubah total. Pendidikan dan literasi tak lagi sama dengan sepuluh tahun yang lalu, tak terkecuali kehidupan beragama akan menghadapi tantangan.

Lembaga-lembaga keagamaan tradisional mendapat tantangan dengan hadirnya youtube, whatsapp, telegram, Line, instagram, dan lainnya. Hampir segala hal bisa didapat dengan instan, termasuk di dalamnya pengetahuan agama. Hampir tak ada filter yang membatasi. Benar dan salah tak lagi mudah dibedakan. Moderasi agama ditantang dengan hadirnya radikalisasi agama bahkan ekstremisme dan terorisme. Nilai-nilai budaya sulit dibatasi untuk menjadi murni, semua tercampur baur saling berseliweran di lini masa, tak terkecuali tafsir kitab suci. Perubahan fundamental yang terjadi mencabut akar yang selama ini tertanam, tak banyak akar yang cukup dalam menahan gempuran perubahan yang demikian cepat.

Tantangan terhadap nilai-nilai agama dan etika terus datang bergelombang bak air bah. Kloning, Artificial Inteligence (AI), rekayasa genetik, robotic, bayi tabung dengan rahim orang lain, tanpa rahim bahkan ditanamkan dalam perut pria, belum lagi issue LGBT, kesetaraan gender, gender ketiga, pernikahan solo, adalah sederetan contoh diantara banyak contoh lain yang akan membawa disrupsi terhadap nilai-nilai agama dan etika. Terlebih pada lembaga-lembaga keagamaan tradisional bila tak mampu mengantisipasi perubahan dan mengubah diri. Ada dua sikap dalam menghadapi situasi ini, berupaya menolak keras dengan berbagai alasan atau ikut dalam gelombangnya dengan melakukan penyesuaian, terobosan dan bebenah di sana sini. Saya lebih memilih yang kedua.

Sekarang waktunya saya dan Anda belajar untuk menjadi 'guru', di 'gugu' dan di 'tiru', diikuti dan ditiru. Untuk menjadi guru, saya harus menjadi 'murid' kehidupan yang terus belajar memahami perubahan yang terjadi, dan meningkatkan pemahaman saya pada ajaran lama, agar dapat diterapkan pada situasi terkini yang terjadi. Dalam upaya ini, saya perlu mengubah (membaharui dan membina diri) diri saya lebih dahulu, tidak kaku dan lamban seperti dinosaurus yang besar, perkasa dan punah.

Ajaran agama mengandung nilai-nilai kebajikan hakiki yang universal dan abadi, setidaknya itulah keyakinan saya. Agama juga mengandung budaya dan tradisi yang tak lagi kompatible dengan situasi terkini dan masa yang akan datang. Maka budaya dan tradisi perlu diinterpretasi ulang dan diambil intisari nilainya yang akan membimbing manusia hidup dalam dao di era disrupsi dan era-era lainnya. Dalam era baru, mungkin saja bentuk peribadahan akan berubah dan mengalami proses digitalisasi seperti kitab suci yang telah mengalaminya. Tinggal bagaimana proses digitalisasi ini tidak menghapuskan pesan inti dan tujuan kenapa manusia menjalankan ibadah.

Saya teringat pesan ilahi dalam kitab Lunyu (Sabda Suci/Analects) bahwa dao itu tidak jauh dari manusia. Bila orang memaksudkan dao itu menjauhi manusia, itu bukan dao.  Manusialah yang harus mengembangkan dao, bukan dao yang mengembangkan manusia. Dao selalu berkenaan dengan manusia. Agama ada untuk membimbing manusia hidup menempuh dao. Hidup dalam dao akan memastikan manusia hidup dengan tepat sesuai hakikat keberadaannya di dunia.

Nabi Kongzi telah memberi keteladanan dalam misi sucinya, meneruskan pesan ilahi untuk mengembalikan manusia ke dalam dao. Beliau dengan kerendahan hati menyatakan tidak mencipta dan hanya meneruskan ajaran kuno. Tapi dalam proses meneruskan ini, Beliau mencipta. Beliau menjadikan pendidikan dapat diperoleh setiap orang tanpa melihat latar belakang. Yang menonjol adalah kerendahan hati dalam mengajar dan belajar, bertanya, mendengarkan, menjawab, menggali potensi para murid agar mereka mencari dan mengerti tiga sudut lainnya ketika diberitahu satu sudut. 

Beliau tidak berangan-angan kosong, tidak mengharuskan, tidak kukuh dan tidak menonjolkan aku-Nya. Nabi Kongzi berhasil memahami dan menerapkan yang kuno pada yang baru. Beliau tidak kaku dengan satu cara mendidik, Beliau melakukan penyesuaian-penyesuaian dan pembaruan-pembaruan. 

Semangat inilah yang mestinya saya dan Anda miliki di era disrupsi, agar tidak terdisrupsi. (US)

Postingan populer dari blog ini

SEMBAHYANG ARWAH (TAFSIR)

KING HOO PING (JING HAO PENG, JING HE PING)

KETELADANAN KEBAJIKAN GUAN GONG