CAP GO ME ITU MOVE ON

Salam Kebajikan,

Hari ini adalah zhengyue 15, 2570; hari terakhir saya beserta keluarga merayakan perayaan xin nian, sincia atau Tahun Baru Kongzili 2570.

Di berbagai kota di Indonesia, festival cap gome diisi dengan berbagai kegiatan budaya  yang begitu meriah dan shang yuan atau yuan xiao dimaknai dengan peribadahan agama, mengucap harapan atas berkah bumi, menutup rangkaian perayaan, pesta, silaturahmi, kontemplasi dan resolusi diri. Yuan xiao menandai dimulainya kembali karya dalam me-nyongsong hari depan yang lebih baik. Sebagai umat Khonghucu, persembahyangan yuanxiao menutup seluruh rangkaian persembahyangan tahun baru. Tak ada pesta yang tidak selesai, tak ada pula kontemplasi dan resolusi tanpa aksi nyata untuk mewujudkannya.

Tahun Baru Imlek keliru bila dikaitkan dengan harvest festival atau festival panen, karena menanam saja belum, mana mungkin sudah memanen. Dahulu kala, saat sebagian besar rakyat di Zhongguo sana masih bertani, capgome adalah awal musim tanam karena es telah mencair dengan sempurna. Pada saat tahun baru, es belum mencair seluruhnya. Maka capgome adalah awal untuk bekerja. Dalam mengawali kerja dilakukan 'pesta penutup' dengan arak-arakan, dirangkaikan dengan peribadahan. Lengkaplah sudah budaya yang agamis dan penuh simbolisme dilaksanakan. Semua pesta dan simbolisme terkait dengan spiritualitas Tian Di Ren, keterkaitan Tuhan, alam semesta dan manusia. Dalam perayaan dan peribadatan ini tercakup makanan, sajian, pernak-pernik, silaturahmi, warna dan banyak hal lain yang mengandung nilai-nilai religi, filosofi, mitologi dan simbol-simbol.

Zaman berubah, nilai-nilai berubah, budaya berubah, keyakinan berubah, lingkungan pun berubah dan berbeda dari satu daerah dengan daerah lain, negara dengan negara lain, diikuti pemahaman yang berubah dan berbeda antara satu negara dengan negara lain, antara satu suku dengan suku yang lain. 

Orang pun berbeda-beda dalam memahami Tahun Baru Imlek atau xin nian dan capgome. Ada yang meyakini sebagai budaya Tionghoa semata dengan segala pestanya, ada pula yang memahami sebagai akulturasi budaya berbagai etnis dan suku bangsa, ada pula yang lebih suka menjadikan momen tahun baru yang dirayakan 15 hari itu sebagai ritus dan kultus. 

Dalam perubahan ini, beriringan dengan adanya kemajuan jaman, alat transportasi, alat tulis, alat komunikasi, teknologi, dan saling pengaruh antar budaya, agama, bahasa, ketatanegaraan, dan politik, budaya tak lagi menjadi satu budaya yang murni. Dalam proses ini ada proses pergeseran, perubahan dan kekaburan makna. Ada beragam cerita yang mewarnainya dengan bumbu-bumbu penyedap disana sini. Lengkap sudah Tahun Baru Imlek telah memiliki berbagai bentuk dan makna.

Hal ini wajar-wajar saja dan terjadi pada hampir semua perayaan tahun baru dari budaya dan agama apapun. Orang-orang merayakan natal dan tahun baru tidak sama di seluruh penjuru dunia, natal di Eropa Timur berbeda dengan natalnya orang Indonesia, Amerika atau belahan dunia yang lain. Begitu pula perayaan Tahun Baru Hijriyah dan 1 Suro, Idul Fitri, Nyepi, Deepavali serta Waisak, di belahan dunia yang lain berbeda dengan yang dilaksanakan di Indonesia.

Bagi saya, yuan xiao tidaklah berarti menandai sempurnanya perubahan musim dari musim dingin ke musim semi dan menjadi awal musim tanam seperti di Tiongkok sana, karena  Indonesia tidak mempunyai empat musim, Indonesia hanya punya musim kemarau, hujan dan pancaroba. Musim datang silih berganti tanpa Tuhan perlu bicara, hukumNya yang berlaku dan mengatur alam semesta.

Bagi saya, ada satu makna hakiki yang tak boleh terlupa dalam merayakan Tahun Baru Imlek atau xin nian hingga ditutup capgome atau yuan xiao. Saya sebagai manusia harus move on, berubah dan bergerak maju. Kehidupan saya diwarnai oleh musim dingin, di mana segala sesuatu nampak berjalan buruk, tak ada yang berjalan sesuai harapan, tapi di lain kesempatan kehidupan bak musim semi, semuanya bertumbuh tanpa hambatan dan dipenuhi keceriaan, di lain waktu dalam perjalanan hidup saya hidup bagaikan musim gugur meranggas lalu berganti menjadi musim panas yang menggerahkan. Tak ada yang tetap di dunia ini kecuali perubahan, begitu pesan dari kitab Yijing.

Saya tak boleh terus terpaku dengan satu keadaan atau suatu kejadian, baik atau buruk, menggembirakan atau menyedihkan, saya harus bergerak maju dan berubah, mempersiapkan datangnya 'musim' yang satu menggantikan 'musim' yang lain karena itulah hukum perubahan yang abadi.

Maka bagi saya, setelah merayakan tahun baru dengan peribadahan, kontemplasi, evaluasi dan resolusi diri dengan segala semarak pestanya, semua itu harus diakhiri dan saya sempurnakan dengan kerja dan karya memperbaiki kesalahan dan kekurangan yang telah saya perbuat ditahun yang lalu, untuk mencapai harapan yang lebih baik sepanjang tahun ini. 

Jadi rangkaian perayaan tahun yang baru bagi saya bukan tentang pergantian musim di Tiongkok sana, tapi tentang pergantian 'musim' yang akan saya alami dalam kehidupan saya. Saya harus mempersiapkan diri dan  berubah menjadi lebih baik. Tak ada pesta yang tak usai, tak ada pula kesedihan yang tak berakhir. Saya harus bisa move on.

Kalau anda punya makna berbeda dengan saya dan merayakan sebagai dimulainya musim semi dan pesta-pesta, ya silakan saja. 

Sambil mengenang tawa canda Gusdur, saya mendengar dalam telinga batin saya. 

Gitu aja kok repot.(US)

19 Februari 2019 
Zhengyue 15, 2570 Kongzili

Postingan populer dari blog ini

SEMBAHYANG ARWAH (TAFSIR)

KING HOO PING (JING HAO PENG, JING HE PING)

KETELADANAN KEBAJIKAN GUAN GONG