MENGENAL LAWAN

Salam Kebajikan,

Kemarin saya mengikuti Focus Group Discussion (FGD) mengenai Pengarusutamaan Moderasi Beragama, Perspektif Agama-Agama di Indonesia. Acara yang sangat penting di tengah arus fundamentalisme dan radikalisme yang menguat. Salah satu tujuan FGD adalah memperkaya buku putih moderasi beragama agar tidak hanya diwarnai oleh salah satu agama.

Masing-masing perwakilan dari enam agama dan tiga ormas keagamaan Islam memaparkan pemikiran. Saya membawakan makalah berjudul, "Jalan Tengah: Kunci Terwujudnya Keadilan Sosial, Keharmonisan, dan Perdamaian Dunia." Makalah yang pernah saya bawakan tahun lalu di World Peace Forum dengan sedikit perbaikan. Pada dasarnya ada benang merah pemikiran dan nilai spiritual dari para pemapar mengenai moderasi beragama. Mudah-mudahan buku putih moderasi beragama segera terbit, bisa kita baca dan menjadi rujukan.

Ada obrolan menarik saat kesempatan makan siang dengan Prof. Franz Magnis Suseno, pastor katolik dari ordo Jesuit cendekiawan yang telah menulis banyak buku. Seorang Jawa kelahiran Jerman Selatan. Beliau datang ke Indonesia sebagai missionaris Katolik pada tahun 1961, saat berusia 24 tahun.

Obrolan pertama adalah mengenai pandangan Matteo Ricci tentang ajaran Khonghucu era Zhuxi (neo Confucianisme) yang dianggap tidak bertuhan berkaitan dengan pemahaman mengenai li. Bagi Matteo Ricci, Ajaran Neo Confucianisme berbeda dengan yang diajarkan oleh Khonghucu di zaman kuno. Menurut Franz ada kekeliruan pemahaman tentang Tuhan dalam neo Confucianisme dari Matteo Ricci karena memandang Tuhan dari kaca mata Katolik. Seperti juga pandangan yang keliru mengenai ajaran Buddha Theravada yang dianggap tidak membicarakan Tuhan. Akhir-akhir ini telah berkembang teologi negatif yang merupakan kritik atas upaya pembakuan Tuhan dalam teologi positif.

Dalam obrolan ini, Romo Franz Magnis juga menceritakan bagaimana upaya ordo Jesuit (SJ) meyakinkan Paus agar menerima praktek penyembahan leluhur yang dilaksanakan oleh bangsa Cina sebagai bukan penyembahan berhala, namun gagal karena ditentang oleh ordo Fransiskan dan akhirnya menyebabkan para missionaris Katolik diusir dari Tiongkok sehingga missionaris Katolik harus mulai lagi dari nol untuk menjalankan misinya di Tiongkok.

Saya dengan seksama mendengarkan paparan Romo Franz Magnis, serasa menampilkan lagi ingatan saya pada buku 'Jesuit in China' yang pernah saya baca beberapa tahun lalu mengenai upaya missionaris Katolik di Tiongkok sejak abad ke 16, dipelopori oleh Matteo Ricci yang menurut Fung Yu Lan berhasil menembus 3 tembok pembatas bangsa Cina, yaitu tembok besar, bahasa dan budaya. Kebetulan dalam salah satu sub bab tesis saya membahas tentang upaya missionaris Katolik untuk memisahkan neo Confucianisme dengan ajaran Khonghucu era kuno, sehingga melahirkan 3 penafsiran pada ajaran Khonghucu yaitu Lixue, Hanxue dan penafsiran para misionaris di samping dua penafsiran lainnya.

Obrolan mengasyikan berlanjut hingga Konsili Vatikan II yang dengan fasih dijabarkan oleh Profesor Franz Magnis serta beberapa topik lain. Pemikiran yang begitu jernih dari seseorang yang telah berusia 82 tahun. Berkah usia yang disyukuri oleh Profesor Franz Magnis dan dijalani hari ke hari dengan rasa syukur. Mudah-mudahan Tian merahmati saya hal yang sama.

Topik terakhir adalah mengenai kedatangan Romo Franz Magnis pada tahun 1961 yang merupakan jawaban atas pertanyaan saya kenapa Romo Franz Magnis memilih datang ke Indonesia. 

Ada dua hal mengapa dia memilih dan ditugaskan di Indonesia, yaitu karena:
1)  Korespondensi dengan para misionaris yang berada di Indonesia, sehingga diketahui bahwa di Indonesia misionaris asal Belanda ketika itu sulit memperoleh ijin tinggal di Indonesia, 
2) ketika itu di Indonesia isu nasakom dan gerakan komunisme sedang berkembang gencar, hal ini membangkitkan jiwa misionaris muda Franz Magnis Suseno yang memandang ateisme dan komunisme sebagai lawan yang harus dihadapi.

Ada satu pesan penting yang menurut saya perlu dicermati dari obrolan ini, yaitu saat Romo Franz Magnis tiba di Indonesia, hal pertama yang dia lakukan (sesuai dengan keahlian dan penugasan) adalah mempelajari pemikiran para pemimpin PKI waktu itu, agar lawan dapat diketahui dengan baik. Mengenal lawan itu penting dalam peperangan. Tak heran bila ketika di Jerman, Romo Franz Magnis menulis tesis dan disertasi mengenai Leninisme dan Marxisme. Kita mahfum karena ketika itu Jerman terbagi menjadi Jerman Barat dan Jerman Timur. Jerman Timur adalah komunis.

Bagi saya, semua yang dilakukan lembaga dan misionaris Katolik dalam melakukan misinya mempunyai benang merah. Matteo Ricci atau Franz Magnis Suseno berusaha mengenal lawan agar mudah saat 'berperang' dengan mereka. Saya teringat dengan pepatah dalam falsafah perang Sun Tzu, "Kenallah lawanmu dan kenallah dirimu sendiri, maka kemenangan ada di tanganmu." 

Matteo Ricci bisa menembus tiga hambatan di Tiongkok dan beberapa tahun yang lalu kehadiran Matteo Ricci di Tiongkok diperingati di Tiongkok. Franz Magnis Suseno adalah orang Indonesia yang begitu Jawa kendati lahir di Jerman dan sekarang banyak menjadi rujukan dalam persoalan-persoalan kebangsaan dan lintas iman di Indonesia karena mereka mengenal lawan.

Apa pun bidang yang kita tekuni, saya dan Anda perlu belajar kebijaksanaan ini untuk memenangkan persaingan dan 'peperangan' yang kita hadapi. (US)

Postingan populer dari blog ini

SEMBAHYANG ARWAH (TAFSIR)

KING HOO PING (JING HAO PENG, JING HE PING)

KETELADANAN KEBAJIKAN GUAN GONG