MENGHORMATI DAN MENGHARGAI

Salam Kebajikan,

Dalam berbagai kesempatan, saya bertemu dengan orang-orang yang tanpa sadar memaksakan pemikiran dan keyakinan yang dianutnya terhadap orang lain yang mempunyai keyakinan dan pemikiran berbeda.

Sejak Sekolah Dasar hingga saya berkarir, bahkan sampai saya menjadi aktivis di MATAKIN, saya banyak bergaul dengan teman dan bertemu dengan orang-orang yang mencoba memaksakan pemikiran dan keyakinannya kepada saya dan menganggap saya adalah orang yang harus bertobat.

Tak mudah menyikapi situasi ini karena seringkali merupakan keyakinan agama dari kawan-kawan saya tersebut, bahwa apa yang baik bagi dirimu berikanlah pada orang lain.
 

Waktu saya kuliah dulu, dengan pengetahuan agama saya yang sangat terbatas, karena tak tahan, saya berdebat sampai empat jam dengan kawan saya yang berusaha memaksakan keyakinannya kepada saya. Sampai akhirnya saya mengeluarkan bungkus korek api dan bertanya pada kawan saya tersebut, gambar apa yang dia lihat dari sisinya. Kata dia, gambar durian, saya yang melihat dari sisi berbeda mengatakan bukan. Begitulah kalau belum melihat dari kedua sisi, takkan ada kesepakatan. Maka pada kesempatan itu saya mengatakan pada kawan saya tersebut, kita percuma berdebat sampai kapan pun juga karena yang kita lihat berbeda, maka saya ajak atau lebih tepatnya saya tantang kawan tersebut untuk membaca kitab Sishu-Wujing yang saya anut dan saya akan baca kitab suci agamanya, baru lanjutkan diskusi.

Sejak saat itu, saya membulatkan tekad membaca kitab suci agama kawan saya hingga selesai. Entah kawan saya melakukan hal yang sama atau tidak. Faktanya sejak saat itu saya terus berusaha mempelajari dan memahami berbagai agama dan sampai pada satu kesimpulan bahwa bagaimana pun saya mempelajari agama orang lain, saya tidak bisa menyelami dan menghayati sampai inti terdalam karena agama menyangkut dogma, doktrin, keyakinan dan iman seseorang yang kadang tidak sesuai dengan apa yang saya yakini dan saya imani, sehingga saya tak bisa menilai agama seseorang dari kaca mata iman saya. Namun sayangnya dalam kehidupan sehari-hari, banyak orang yang menilai agama orang lain dari kaca mata pemikiran dan imannya dan menisbikan pemikiran dan iman orang lain.

Akhir-akhir ini fenomena baru terjadi di Indonesia, perayaan valentine dan tahun baru imlek menjadi perdebatan yang seru di media sosial. Di satu sisi sekelompok orang mengajak untuk tidak merayakan hari valentine karena bukan merupakan budaya Indonesia dan hari keagamaan agama tertentu di lain sisi sebagian orang Tionghoa ingin merayakan tahun baru imlek sebagai budaya Tionghoa dan menyatakan tidak ada kaitan dengan hari besar keagamaan.

Sikap saya adalah, saya menghargai orang-orang yang berpendapat berbeda, mau merayakan valentine silakan, tidak merayakan karena keyakinannya silakan. Mau merayakan tahun baru imlek sebagai budaya silakan, tidak merayakan tidak apa-apa, tapi saya keberatan kalau tahun baru imlek hanya sekedar budaya dan tak ada kaitan dengan agama Khonghucu karena dalam keyakinan iman saya, tahun baru imlek sarat dengan peribadahan Khunghucu sesuai tuntunan kitab suci Khonghucu. Yang jelas, baik hari valentine maupun hari raya tahun baru imlek telah mengalami pergeseran, politisasi dan komersialisasi sehingga makna spiritulitas dari kedua perayaan tersebut telah tertutupi dengan budaya materialisme dan kepentingan tertentu.

Beberapa bulan yang lalu, pada saat bulan puasa diadakan Dialog Islam-Khonghucu di Hotel Mandarin Jakarta yang digagas oleh UKP DKAAP.  Beberapa hari sebelum acara, Pak Din Syamsuddin selaku UKP DKAAP menelpon saya sebagai Ketua Umum MATAKIN, menanyakan apakah perlu disediakan minuman dan makanan kecil pada saat acara, yang kebetulan dimulai sebelum acara buka puasa. Saya katakan tidak usah pak, kami selaku umat Khonghucu diajarkan untuk menghormati ibadah puasa umat muslim, tapi pas acara dilaksanakan ternyata pak Din telah menginstruksikan panitia agar menyediakan makanan kecil dan minum untuk tamu.

Sungguh saya terharu dan kagum dengan sikap  tokoh Islam yang ternyata begitu sangat toleran dan paralel dengan sikap saya sebagai seorang umat Khonghucu untuk menghargai orang lain. Dalam hal ini kami sama, tapi dalam hal yang lain bisa saja berbeda. Kalau berbeda, kami tentu akan saling menghargai dan tak akan memaksakan pandangan kami satu dengan lain.

Karena sejak awal saya bertekad untuk menghargai teman-teman muslim yang sedang berpuasa dalam acara tersebut, sampai buka puasa tiba barulah saya minum dan makan makanan kecil yang disediakan. Pada kesempatan tersebut, kawan-kawan saya ada yang memakan dan meminum makanan yang disediakan, sahabat-sahabat muslim saya tak mempersoalkan juga.

Menurut saya inilah bentuk sikap saling menghormati dan menghargai. Tanpa perlu saling memaksakan. Untuk saya pribadi contoh sederhana ini merupakan penerapan dari ajaran zhisheng Kongzi mengenai shu, jangan lakukan apa tidak ingin orang lain lakukan terhadap dirimu. Apa yang terbaik bagi diri saya belum tentu baik bagi orang lain.

Bagi saya sebagai umat Khonghucu, sikap ini adalah sikap terbaik yang menciptakan keharmonisan dalam kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat, negara dan dunia.

Sayangnya sikap seperti ini sering dimanfaatkan oleh orang-orang yang memiliki sikap berbeda yang kadang kala sebagai manusia biasa, saya sering merasa dongkol juga.

Kala saya dongkol, saya dengarkan lagi lagu perdamaian, Khonghucu sabar pengertian.  Mungkin saya perlu lebih dalam lagi menggapai cahaya kebajikan Tian dalam batin saya supaya lebih sabar dan lebih pengertian lagi. Tentu saja sabar pengertian itu ada batasnya, saya akan berupaya menjangkau yang terjauh. (US)

Saat menunggu perbaikan dinamo mobil, 15/02/2019.

Postingan populer dari blog ini

SEMBAHYANG ARWAH (TAFSIR)

KING HOO PING (JING HAO PENG, JING HE PING)

KETELADANAN KEBAJIKAN GUAN GONG