MENGISI HIDUP

Salam Kebajikan,

Tanggal 27 Februari 2019 saya mengantar anak kedua saya, Rainna ke Bandara Soekarno Hatta. Rainna akan kembali ke Denpasar karena besok ada seminar wajib yang harus diikuti di kampusnya, Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar.

Waktu begitu cepat berlalu, anak-anak beranjak remaja dan dewasa.

Saat saya belajar di Perguruan Tinggi—lebih dari tiga puluh tahun yang lalu—orang tua dan kakak masih lengkap. Kami bukanlah termasuk keluarga berada, tetapi keluarga kami rukun dan bahagia. Papa dan mama membina rumah tangga dengan prinsip-prinsip yang benar. Papa dan mama adalah orang-orang yang religius dan berbudi luhur. Beliau berdua bukan saja dicintai dan dihormati oleh anak, menantu dan cucu, tetapi juga dihormati oleh tetangga, saudara dan handai taulan. Walau sebagai manusia tentu ada kekurangan, tapi kebaikan dan kebajikan yang telah ditabur menjadi cahaya terang yang menjadi pijakan dan arah kehidupan saya sekeluarga. Beliau berdua telah memberi keteladanan nilai yang sangat penting dalam menjalani kehidupan.

Saya sekarang telah berusia setengah baya, seusia dengan papa saya saat dikaruniai anak bungsu, yaitu saya. Saat papa seusia saya, papa telah berkelana ke berbagai tempat, menelusuri jalan kehidupan dan spiritual untuk menemukan jati diri yang sejati. Mama dengan sabar dan penuh cinta selalu menemani, dalam suka maupun duka.

Saya sering bertanya ke diri saya sendiri, apakah yang telah saya kerjakan sudah cukup membanggakan orang tua? Apakah ada hal yang saya lakukan memalukan orang tua? Apakah saya telah mendidik dan memberi keteladanan pada anak dengan baik? Apakah saya cukup menegakkan diri? Dan banyak pertanyaan lain yang terlintas.

Waktu begitu cepat berlalu. Saya tidak lagi muda. Banyak pengalaman dan peristiwa terjadi sepanjang perjalanan hidup saya. Ada suka ada duka. Ada yang membanggakan ada yang biasa saja. Ada kebahagiaan dan ada kesedihan. Ada suka cita, ada kepahitan. Ada beribu bahkan berjuta noktah yang berkelebat laksana gambar yang tak lagi jelas detailnya, hanya samar-samar. Hanya ada satu dua peristiwa yang nampak jelas, yang lain seperti bayangan berwarna yang tak begitu nampak wujudnya hanya tertimbun dalam tumpukan memori rasa dan pikiran.

Dalam suara yang samar terdengar di telinga batin, saya tergugah oleh kata-kata bijak: 
"Berhati-hatilah dan was-waslah menjalani kehidupan, karena menjalani kehidupan laksana berjalan di lapisan es yang tipis, di tepi jurang yang dalam."

Beberapa kali saya hampir terpeleset. Betapa berat beban dan jauh perjalanan kehidupan. Bagaimana tidak berat? Cinta kasih itulah bebannya. Bagaimana tidak jauh? Sampai mati baru berakhir. Agar dapat menjalankan kehidupan penuh cinta kasih dan bermakna, saya diingatkan agar berhati luas dan berkemauan keras. Beberapa kali saya hampir tersungkur karena ego yang sempit dan rasa lelah.

Bak sekelebatan cahaya, waktu begitu cepat berlalu. Saya tak boleh lengah, perlu terus mengevaluasi diri dan memperbaiki diri agar hidup lebih bermakna, berada dalam jalan yang dikehendakiNya.

Masih banyak 'pekerjaan rumah' yang harus saya kerjakan sebelum 'lapisan es' retak dan mencair. Jangan sampai saya lengah, lelah dan kehilangan kemauan sehingga ketika menengok ke belakang tak ada makna yang dikenang. Semoga saya cukup menjadi anak yang membanggakan, bersyukur bila saya dikenang sebagai anak berbakti karena saya mempunyai penerus.

Hidup laksana berjalan di atas lapisan es yang tipis, di tepi jurang yang dalam. Saya dan Anda perlu 'was-was' dan berhati-hati. Waktu akan berlalu dengan cepat saat kita tak tergelincir. 

Tian selalu beserta. (US)

Postingan populer dari blog ini

SEMBAHYANG ARWAH (TAFSIR)

KING HOO PING (JING HAO PENG, JING HE PING)

KETELADANAN KEBAJIKAN GUAN GONG