MENOLAK HIDUP BERSAMA KARENA BERBEDA

Salam Kebajikan,

Beberapa hari terakhir viral berita mengenai penolakan warga terhadap seseorang yang berbeda agama untuk tinggal di dusunnya. Saya terenyuh menonton video berdurasi 4 menit 48 detik dari Slamet Jumiarto yang mengemukakan persoalan yang dia dan keluarga hadapi.

Diberitakan detik.com, ternyata di dusun Karet, Desa Pleret, Kabupaten Bantul ada aturan tertulis yang melarang orang berbeda agama tinggal disana. Aturan tersebut merupakan. kesepakatan masyarakat dan kearifan lokal, begitu kata Kepala Desa, Nurman Afandi.

Menurut Kepala Dusun Karet, Iswanto, aturan tersebut bermula saat 30 warga berkumpul dan membuat kesepakatan. Hal itu dikarenakan permasalahan pemakaman di Dusun Karet.

"Peraturan itu dibuat tahun 2015 karena pertama kali masalah makam dan merembet ke masyarakat. Maksudnya dari warga gitu karena belum ada non muslim yang dimakamkan di situ, jadi maksud warga saat itu mengantisipasi saja sebetulnya," katanya.

Persoalan yang membelit Slamet Jumiarto dan keluarga akhirnya dapat diselesaikan dengan musyawarah, Slamet Jumiarto sepakat untuk pindah selambat-lambatnya 6 bulan ke depan, uang kontrak dikembalikan. Hikmahnya, karena kejadian ini, aturan mengenai larangan tinggal tersebut—yang bertentangan dengan konstitusi negara—akhirnya dicabut.

Di negara majemuk seperti negara kita tercinta, Indonesia, hal-hal seperti ini harus disikapi dengan adil-bijaksana karena dapat menyebabkan segregasi yang membahayakan keutuhan bangsa dan negara.

Kita bersyukur telah dianugerahi Tian, Tuhan yang Maha Esa negeri yang demikian kaya dan telah dianugerahi para pendiri bangsa yang arif bijaksana sehingga mampu merumuskan dan memilih Pancasila sebagai dasar, falsafah dan ideologi negara. Maka seyogianya seluruh peraturan dan arah kehidupan berbangsa dan bernegara dijiwai oleh Pancasila seperti tercantum dalam pembukaan UUD NRI 1945. Pencabutan peraturan dusun tersebut merupakan tindakan yang tepat.

Namun demikian, apakah persoalan tidak akan terjadi lagi di dusun tersebut dan di tempat-tempat lain?

Melihat kondisi bangsa dan negara sekarang ini serta apa yang terjadi di berbagai belahan dunia lain yang menunjukkan adanya ketidakadilan dalam tata dunia, kita yang terpanggil perlu bekerja keras. Persoalannya bukan  mengenai peraturan atau hukum semata, terlebih adalah mengenai cara pandang dan cara hidup.

Seringkali kita memandang segala sesuatu dengan hitam putih, saling berlawanan. Kalau tidak hitam ya putih. Saya benar, kamu salah. Kami baik, mereka buruk. Kalian berbeda, kami tolak. Selalu saja berpandangan aku atau kau, saya atau Anda, kami atau mereka, kalian atau aku, kalian atau kami. 

Mengapa saya dan Anda tidak berpandangan 'kita'? Dengan 'kita', artinya saya dan Anda, aku dan kau, kami dan mereka, kalian dan aku, kalian dan kami ada pada pihak yang sama, yaitu 'kita' yang senasib, yang sepenanggungan, yang mau saling memahami, yang mau saling membantu, yang satu walau berbeda, cara pandang 'kita' adalah cara pandang yin yang, dua yang berbeda namun setara dan tunggal. Hidup bukanlah hitam putih dengan garis pemisah yang lurus, tegas dan kaku. Hidup bukan hitam putih yang terus mencoba 'menang'. Hidup bukan tentang mengalahkan dan menguasai. Hidup bukanlah tentang menang dan kalah, hidup yang bermakna adalah tentang berkolaborasi seperti yin yang, melahirkan banyak hal.

Sekarang dunia dikuasai oleh cara pandang hitam putih. Negara adidaya merasa dirinya penguasa dunia yang dapat memaksakan kehendak dan aturan atas negara-negara lain. Negara yang berbeda akan menanggung konsekuensi dan sanksi baik politik, ekonomi bahkan militer. Tatanan dunia menjadi tidak adil. Tak ada standar aturan, etika dan moralitas, yang ada adalah standar ganda yang dasarnya adalah kepentingan. Yang kuat memaksakan kepentingan.

Cara hidup tak jauh berbeda terjadi pada bangsa kita. Yang lebih besar memaksakan kepentingannya pada yang lebih kecil. Yang dekat dengan kekuasaan dan uang memainkan kartu kepentingannya tanpa peduli pada kepentingan orang lain. Para politisi menghalalkan segala cara untuk memenangkan kepentingannya, sering tak peduli dampaknya pada keutuhan bangsa. Tokoh-tokoh agama ikut dalam cara hidup ini. Maka tak heran bila rakyat dan umat meniru.

Apakah pergaulan internasional dan tatanan dunia serta kehidupan berbangsa, bernegara, berpolitik, bermasyarakat dan bertetangga tak ada aturannya? Apakah tak ada hukum yang mengatur? Tentu saja ada, bahkan banyak. Hukum dan aturan dibuat dengan sangat rapi, teratur dan baik. Bagaimana praktiknya? Jauh panggang dari api. 

Kita tak dapat hanya berharap dicabutnya peraturan atau diberlakukan aturan, kehidupan akan damai harmonis tak ada masalah.

Saya teringat pesan Nabi, rakyat perlu dibimbing dengan kebajikan dan dilengkapi dengan li (kesusilaan/moral) sehingga akan tumbuh perasaan harga diri dan berusaha hidup benar. Kalau rakyat hanya sekedar dibimbing dengan undang-undang dan dilengkapi dengan hukuman, menjadikan rakyat hanya berusaha menghindari dan kehilangan harga diri. Hukum dan undang-undang takkan efektif tanpa rakyatnya dibimbing dengan kebajikan dan dilengkapi dengan li.

Mengzi mengingatkan kita, satu hal lagi yang perlu dilakukan untuk memperbaiki kehidupan, yaitu hidup janganlah hanya didasari kepentingan/keuntungan apalagi kepentingan/keuntungan sesaat. Kalau negara adidaya selalu mengutamakan kepentingan negaranya, pemimpin, tokoh dan pemuka agama, wakil rakyat, politikus, pak camat, pak lurah, pak RW, pak RT hanya memikirkan kepentingan/keuntungan diri dan keluarga, apalagi kepentingan/keuntungan sesaat, maka rakyat akan bertanya yang dapat menguntungkan dirinya. 

Kalau cara hidup seperti ini terus menguasai, niscaya dunia dan negara akan di dalam bahaya. Hidup harmonis dan berkelimpahan seyogianya bukan menempatkan kepentingan/keuntungan sebagai nilai dasar tapi menempatkan cinta kasih/kemanusiaan dan kebenaran/keadilan sebagai nilai dasar.

Tak mudah untuk dipraktikkan, terlebih dalam kehidupan sekarang, namun layak terus digelorakan. Hanya dengan cara pandang dan cara hidup seperti inilah kejadian di Bantul dan tempat-tempat lain akan dapat diminimalisir. Mungkin kita tak dapat mengubah dunia, tapi dapat mengubah diri. Mulailah dari diri sendiri, kecuali memang kita tak mau hidup damai dan harmonis. (US)

Postingan populer dari blog ini

SEMBAHYANG ARWAH (TAFSIR)

KING HOO PING (JING HAO PENG, JING HE PING)

KETELADANAN KEBAJIKAN GUAN GONG