SUFISME KHONGHUCU

Salam Kebajikan,

Pada tanggal 21 Mei 2019 saya dikirim pesan whatsapp oleh seseorang, yang intinya saya diminta sebagai salah seorang narasumber acara seminar lintas agama di Jakarta. Dalam pesan tersebut tertulis, "Selamat Siang Bapak Uung Sandana (orang-orang acapkali salah menulis nama saya, hehehe), Ketua Matakin Indonesia." 

Respon saya pertama adalah saya katakan bahwa saya sudah bukan Ketua Umum Matakin. Saya selalu sampaikan hal ini bila ada orang yang mengundang saya dan masih mencantumkan 'Ketua atau Ketua Umum Matakin'. Lalu saya tanyakan kepada yang bersangkutan apakah mau mengundang saya atau Ketua Umum Matakin. Kalau mau mengundang Ketua Umum Matakin, maka saya akan berikan nomor whatsapp yang tepat.

Ternyata orang tersebut yang baru belakangan saya tahu namanya, (saya tanyakan namanya karena tak ada dalam daftar kontak nomor whatsapp hp saya) mengharapkan saya sebagai salah seorang narasumber dalam acara seminar lintas agama internasional yang akan diselenggarakan oleh Nasaruddin Umar Office pada tanggal 23 Juni 2019 dengan tema 'The Fusion of Human Horizons in The Transcendental Spirituality' dalam rangka ulang tahun Prof. Nasaruddin Umar ke-60 tahun (Prof. Nasaruddin Umar adalah Wakil Menteri Agama dalam kabinet Presiden SBY, sekarang sebagai imam besar masjid Istiqlal).

Pada hari Senin, 17 Juni 2019, beberapa hari sebelum pelaksanaan seminar, saya mendapat kiriman Term of References (TOR) dan hard copy undangan. Masih ada waktu untuk menulis. Saya janjikan hari Rabu makalah selesai, tapi ternyata saya baru bisa menyelesaikan pada hari Kamis 20 Juni 2019. Makalah 13 halaman dengan judul 'Di Empat Penjuru Lautan Semua Manusia Bersaudara' yang mengangkat 'sufisme' dalam agama Khonghucu.

Saya menulis makalah ini setelah membaca TOR yang intinya menekankan sufisme dan penghayatan nilai-nilai agama bisa memberikan ruang yang lebih luas bagi resolusi konflik. Karena ritual dan teologi lebih sering menjadi ajang perselisihan daripada pencarian kesamaan, maka perlu gerakan yang cukup besar dari kalangan pemerhati dan praktisi sufisme (Islam) untuk menjadikannya sebagai resolusi konflik. 

Di samping sufisme yang menekankan internalisasi ajaran islam secara substansial, umat Islam juga harus menjunjung tinggi nilai kemanusiaan dan toleransi antar umat beragama, karena pada dasarnya semua agama mengajarkan nilai-nilai kebaikan yang bersifat universal. Baik Islam, Kristen, Buddha, Hindu dan Khong Hu Chu (panitia menulis seperti ini) semua mengajarkan transcendental spirituality untuk kemaslahatan bersama dan sangat penting dalam menciptakan kedamaian berbangsa dan negara.

Sebagai lulusan Magister studi agama-agama di Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah, saya pernah mendapatkan materi mengenai Sufisme dan kebetulan saya mendapat tugas menulis mengenai mistisme. Tentu saja bukan berarti saya seorang ahli sufisme atau mistisme apalagi seorang sufi. Namun demikian, saya rasa tak ada salahnya saya memberanikan diri menulis makalah yang menurut pandangan saya mewakili 'sufisme' dalam agama Khonghucu. Tentu saja sufisme Khonghucu tidak persis sama dengan sufisme Islam.

Dalam wikipedia tertulis: Tasawuf (Tasawwuf) atau Sufisme (bahasa Arab: تصوف , ) adalah ilmu untuk mengetahui bagaimana cara menyucikan jiwa, menjernihkan akhlaq, membangun dhahir, dan batin serta untuk memperoleh kebahagiaan yang abadi. Tasawuf pada awalnya merupakan gerakan zuhud (menjauhi hal duniawi) dalam Islam, dan dalam perkembangannya melahirkan tradisi mistisme Islam.

Sufisme adalah sisi esoteris (sisi dalam) bukan eksoteris (sisi luar). Dalam sufisme  hidup beragama lebih berkaitan dengan xing (benih-benih kebajikan watak sejati manusia: ren, yi, li, zhi) yang merupakan pancaran sifat kebajikan Tian (yuan, heng, li zhen) dalam diri setiap manusia.

Sufisme berkaitan dengan hakikat, bukan sekedar syariat (tata cara) ataupun tarikat (jalan) suatu agama. Saat menyangkut hakikat, agama dipertemukan dalam nilai-nilai universal karena mengacu pada 'Yang Esa'.

Sufisme dalam agama Khonghucu dapat kita baca dalam Kitab Mengzi Bagian Jin Xin (Jilid VIIA) terutama ayat ke 1-7, dan tentu saja kitab Zhong Yong. Umat Khonghucu diberi petunjuk untuk mengenal Tian dengan menyelami hati, mengenal watak sejati. Umat Khonghucu juga diberi petunjuk untuk mengabdi pada Tian dengan menjaga hati, merawat watak sejati. Mencari dan menemukan Tian (Tuhan YME) bukanlah ke luar diri, tapi ke dalam diri. Dengan demikian hidup dipenuhi rasa syukur atas anugerah Tian atas kehidupan ini. Selebihnya adalah bagaimana kita hidup dalam iman, yaitu ketulusan mengikuti firman Tian (watak sejati). Inilah kebahagiaan terbesar seorang manusia yang menjadikan manusia bersatu/manunggal dengan Tian (Pei Tian).

Sufisme tidak lagi berbicara mengenai tata cara ritual sembahyang atau cara bagaimana seseorang menempuh jalan yang tepat dan menjauhi larangan agar mencapai tempat terindah atau menghindari suatu tempat penyiksaan kelak saat berpulang. Sufisme adalah tentang kebersatuan dengan Tian. Dengan demikian, seorang sufi menjalankan kebajikan karena spiritualitas transenden yang bersumber dari kedalaman batinnya, tempat kebajikan bercahaya yang berasal dari Yang Maha Esa bersemayam. 

Nilai-nilai kebajikan bukan sekedar etika, tetapi sesuatu yang transenden. Dengan demikian tak akan lagi ada sekat di antara semua manusia apapun ras, etnis, agama, suku dan golongan. Dalam diri setiap manusia bersinar kebajikan bercahaya yang perlu digemilangkan. Dan semuanya tergantung upaya manusia itu sendiri.

Karena firman Tian ada dalam diri setiap manusia, pada hakikatnya semua manusia bersaudara. (US)

Postingan populer dari blog ini

SEMBAHYANG ARWAH (TAFSIR)

KING HOO PING (JING HAO PENG, JING HE PING)

KETELADANAN KEBAJIKAN GUAN GONG