PENDIDIKAN 4.0

Salam Kebajikan,

Kemarin saya naik kereta commuter line menuju Universitas Pancasila untuk mengikuti training mengenai Blended Learning.

Blended Learning adalah perpaduan antara pengajaran konvensional di mana pengajar dan mahasiswa bertemu langsung dengan pembelajaran online yang bisa diakses kapan saja, di mana saja 24 jam sehari, 7 hari seminggu.

Perguruan-perguruan tinggi di Indonesia sedang dipacu untuk menjadi world class university. Untuk mencapai itu, maka universitas perlu lebih peka terhadap perkembangan zaman dan perkembangan generasi yang dipengaruhi oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Teknologi, khususnya internet memungkinkan jalinan antar manusia menjadi lebih intens, batas-batas negara semakin kabur di dunia maya. Universitas tak boleh ketinggalan dan harus mampu beradaptasi sekaligus memanfaatkan kemajuan yang ada untuk pembelajaran yang lebih baik. Maka blended learning dipilih dalam proses pembelajaran. Memanfaatkan kemajuan iptek dengan tidak menghilangkan pembelajaran tatap muka di kelas.

Pendidikan telah mencapai taraf baru yaitu pendidikan 4.0, pendidikan yang memproduksi inovasi. Berbeda dengan pendidikan 1.0 yang mengeksplorasi ilmu dasar dan pengetahuan, pendidikan 2.0 yang menghasilkan teknologi, atau pendidikan 3.0 yang memproduksi pengetahuan. Masing-masing sesuai dengan industri yang berkembang sesuai zamannya. Industri 1.0 mekanisasi. Industri 2.0 masifikasi. Industri 3.0 digitalisasi. Industri 4.0 smartisasi.

Dunia sedang berubah dengan cepat. Informasi (positif-negatif, baik-buruk) dari berbagai penjuru dunia dapat diperoleh dengan hanya beberapa sentuhan jari di layar telepon genggam. Generasi telah berubah. Sekarang banyak kita dengar istilah generasi milenial dengan ciri-ciri berbeda dengan generasi sebelumnya seperti saya.

Generasi milenial adalah generasi gadget minded, serba instan (quick yielding), pembosan, berkomitmen rendah, senang sharing dan berkolaborasi, virtual dan superfisial, creative-inovative.

Lengkap sudah perubahan yang terjadi dengan telah dikembangkannya Artificial Intelligence (AI), 'mesin' yang mampu berpikir sendiri ke taraf yang tak terpikirkan sebelumnya.

Kemajuan yang ada diramalkan akan melahirkan manusia-manusia irrelevant, yaitu manusia yang 'gak nyambung', tidak penting, keberadaannya 'tak berguna' bagi manusia lain, dilindas oleh kemajuan.

Agar mampu bersaing dengan mesin sekaligus bekerjasama dan memanfaatkannya, manusia perlu mengelaborasi kelebihannya dibanding mesin, sehingga tidak menjadi manusia irrelevant. Kelebihan tersebut adalah 'sentuhan manusiawi' dari manusia. Tercakup dalam hal ini adalah sikap, karakter, seni dan berbagai aktivitas otak kanan. Manusia-manusia seperti ini akan menjadi manusia yang survive dan unggul, menjadi manusia yang relevan dengan zamannya.

Banyak hal menarik dan menantang bagi saya sebagai dosen agama Khonghucu, agar apa yang saya ajarkan tetap menarik bagi mahasiswa dari generasi dengan ciri-ciri di atas. Sambil terus ter-update mengenai generasi berikutnya, yaitu generasi Z dengan beberapa ciri berbeda. Salah satunya saya perlu tahu apa yang menarik bagi para mahasiswa dan apa yang menjadi bahan percakapan mereka dengan kawannya, musik, dan grup musik apa yang mereka sukai, apa dan siapa yang menjadi trendsetter, dan lain-lain. Maka omongan saya akan tetap nyambung dengan mereka, sambil mengajarkan nilai-nilai agama Khonghucu yang akan menginspirasi mereka menjadi manusia dengan sikap dan karakter yang baik sehingga mereka menjadi manusia yang unggul.

Pendidikan, terutama pendidikan agama perlu inovasi, tidak lagi mengutamakan hafalan, tapi menggunakan topik-topik kekinian, melibatkan para mahasiswa untuk sharing tentang kehidupan dan nilai-nilai kehidupan yang mereka tahu, mengetahui cara pandang mahasiswa. Tentu saja pendidikan agama Khonghucu tidak hanya menjadi pelengkap nilai karena merupakan mata kuliah wajib umum sesuai undang-undang, tapi dengan memanfaatkan iptek, mahasiswa menemukan motivasi dan memperoleh inspirasi, 'mencari tiga sudut lain setelah diberitahu satu sudut', sehingga mereka mengarungi kehidupan dengan berpegang pada nilai-nilai dasar agama Khonghucu dan mereka menjadi manusia yang relevan dan unggul.

Dosen adalah guru. Guru berarti orang yang di 'gugu' dan ditiru, orang yang diikuti dan ditiru. Mengajar agama berbeda dengan mengajar pengetahuan lain. Dosen agama memberi keteladan sikap dan karakter bukan cuma omongan. Tanpa hal-hal tersebut, pendidikan agama Khonghucu hanya akan diikuti mahasiswa sekedar untuk mendapat nilai tak memberi manfaat bagi kehidupan mahasiswa. Jika sebagai dosen agama Khonghucu saya tak mampu melakukan itu, saya menjadi dosen yang irrelevant. Kalau demikian adanya, saya lebih baik tidur di rumah atau menggunakan waktu saya untuk kegiatan lain yang lebih produktif dan berguna.

Saya perlu semakin peka dan peduli, lebih banyak mendengar bukan bicara, terus belajar dan banyak membaca agar tetap relevan.

 Bagaimana dengan Anda? (US) 06092019

Postingan populer dari blog ini

SEMBAHYANG ARWAH (TAFSIR)

KING HOO PING (JING HAO PENG, JING HE PING)

KETELADANAN KEBAJIKAN GUAN GONG