TIADA MUSIK DAN UCAPAN SELAMAT DALAM UPACARA PERNIKAHAN

Salam Kebajikan,

Kemarin saya menghadiri upacara Liyuan pernikahan di Litang Harmoni Kehidupan Cimanggis. Upacara dimulai dengan menghormat dan bersembahyang di hadapan altar Tian dengan dipimpin oleh seorang rohaniwan. Setelah itu upacara berlanjut mengikuti tata upacara liyuan yang tertuang dalam tata agama dan tata laksana upacara, hasil kesepakatan para tetua, rohaniwan dan tokoh-tokoh agama. Beberapa hal menyesuaikan zaman.

Pada saat upacara dalam momen-momen tertentu diperdengarkan musik, setelah upacara selesai dilaksanakan acara menghormat dengan menyajikan teh (te pai) pada keluarga (yang lebih tua) pihak mempelai laki-laki dan keluarga mempelai perempuan. Lazim pula setelah itu pengunjung mengucapkan selamat.

Apakah keluarga mempelai melaksanakan persembahyangan 'cioo thau' di rumah kehadapan Tian dan leluhur dengan dipimpin oleh orang tua? Mungkin saja tidak. Karena mungkin saja keluarga tidak lagi memelihara altar leluhur.

Entahlah... 

Zaman berubah...

Beberapa tradisi ditinggalkan, beberapa upacara keagamaan dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya tak lagi dilaksanakan dan diikuti—walau bila dikaji lebih mendalam ternyata telah diatur dalam kitab suci.

Apa yang ada dalam perasaan mempelai pada saat mengikuti upacara liyuan pernikahan? Apakah perasaan gembira ataukah perasaan sedih? Apa perasaan hakiki yang semestinya ada pada para mempelai?

Dalam momen-momen tertentu, khususnya saat mempelai gui 跪 kepada orang tua dan sungkem, nampak mempelai dan orang tua terharu, meneteskan air mata. Selebihnya hanya mempelai yang tahu.
Kita renungkan kitab Liji Jiao Te Sheng III: 13.
"Di dalam upacara pernikahan tidak digunakan musik, ini berdasar Kebenaran yang disuasanai kesendirian, gelap dan bersifat yin (suasana akan berpisah dengan orang tua). Musik mengungkapkan semangat yang bersifat yang. Tidak ada ucapan selamat untuk suatu upacara pernikahan; itu menunjukkan betapa (satu) generasi manusia harus dilanjutkan generasi yang lain."
Jangan dilupakan pesan dalam Li Ji Hun Yi XLI: 1.
Upacara pernikahan bermaksud akan menyatu padukan kebaikan/kasih antara dua keluarga yang berlainan marga; ke atas mewujudkan pengabdian kepada agama dan kuil leluhur (zong miao), dan ke bawah meneruskan generasi. Maka seorang Junzi sangat menaruh perhatian.

Zaman sekarang masyarakat umum menempatkan suasana gembira dalam upacara pernikahan, dalam pandangan saya upacara pernikahan (liyuan dan cioo thau serta sembahyang pada leluhur) hendaknya disuasanai spirit dalam kedua ayat tersebut. Dengan demikian kedua mempelai akan mengerti, merasakan dan memegang teguh nilai-nilai inti pernikahan yang memberikan tanggung jawab demikian besar dalam menjalankan kehidupan rumah tangga dengan nilai-nilai spiritual dan religius seperti dipesankan dalam kitab suci.

Pernikahan bukanlah hal sepele dan mudah bubar. Pernikahan adalah komitmen kedua mempelai yang mempersatukan dua keluarga berlainan marga bak alat musik yang ditabuh harmonis dalam orkestra dengan tak melupakan tujuan 'ke atas' dan 'ke bawah'.

Upacara pernikahan berbeda dengan pesta atau perayaan pernikahan. Untuk penyesuaian zaman, musik, kegembiraan, dan ucapan selamat biarlah ada pada saat pesta, bukan pada saat upacara. 

Memang tak mudah menghayati nilai suatu upacara di saat dunia berubah dan tidak steril dari nilai-nilai agama serta budaya yang berbeda. Sampai posisi mempelai laki-laki dan perempuan pun dipengaruhi oleh budaya yang berbeda, tak lagi  memperhatikan spiritualitas yin yang seperti gambar dalam blog ini, tak lagi memperhatikan laki-laki di kiri, perempuan di kanan. (US) 23092019

Postingan populer dari blog ini

SEMBAHYANG ARWAH (TAFSIR)

KING HOO PING (JING HAO PENG, JING HE PING)

KETELADANAN KEBAJIKAN GUAN GONG