TIGA LEVEL BERAGAMA

Salam Kebajikan,

Akhir-akhir ini timbul ungkapan untuk apa beragama? Agama membuat kehidupan menjadi tidak harmonis, saling membenci, menegasi, merasa paling benar, bahkan peperangan. Tak sedikit orang menjadi agnostik yaitu orang yang percaya pada Tuhan, tidak pada agama, bahkan ateis.

Bagaimana Anda hidup beragama?

Apakah Anda mengutamakan: 

1. Sisi luar (mengikuti aturan, boleh dan tidak boleh)?
2. Pengkajian, pemahaman, (intelektualitas)?
3. Spiritualitas? 

Ketiga pertanyaan ini akan mengantarkan kita pada jawaban mengapa orang meragukan agama.

Bila kita melihat fenomena orang beragama sekarang—khususnya di Indonesia—yang menonjol adalah orang-orang menjalankan agama mengutamakan sisi luar yaitu bagaimana berpakaian, ketekunan beribadah, cara bersalam, cara berdoa yang benar, cara menancapkan dupa yang benar, dll. Hal ini disebabkan orang-orang tersebut pada umumnya membaca dan memahami kitab suci secara letterlijk, tanpa melihat konteks; kitab suci dipandang sebagai sekumpulan aturan atau hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Dalam beragama seperti ini seringkali muncul monopoli kebenaran.

Di lain pihak, sebagian orang, khususnya para cendekiawan dan sarjana agama melakukan pengkajian dan tafsir terhadap ayat-ayat suci. Mereka menguraikan dan membedah ayat berdasarkan keilmuan baik bahasa, sejarah, etimologi, hukum, sosiologi, antropologi, filsafat, dan lain-lain. Maka dalam taraf ini orang menggunakan akal dan rasionalitas untuk belajar dan memahami agama. Dalam level ini acapkali agama menjadi ilmu pengetahuan dan menjadi bahan kajian. Saat kemanusiaan terasah, level ini dapat menumbuhkan kemanusiaan sebagai way of life.

Di lain pihak sebagian (kecil) orang beragama adalah untuk mendapatkan pencerahan dengan olah batin. Mereka lebih mengutamakan kedekatan dengan Tian, mengasah kemanusiaan, dan memanusiakan manusia. Dalam ilmu agama disebut sebagai mistisisme, sufisme atau tasawuf. Dalam tataran ini, agama mewujud dalam cheng (iman, ketulusan, kejujuran) dengan proses menyelami hati merawat watak sejati.

Level ketiga lah yang mempertemukan manusia dalam kemanusiaannya dan mempersatukan manusia dengan Tian. Nilai-nilai kebajikan dan moral bukanlah timbul dari sekumpulan peraturan tentang boleh atau tidak boleh seperti dalam level 1, atau kajian ayat seperti level 2, tapi karena pancaran kebajikan bercahaya (watak sejati) dalam dirinya. Dalam taraf ini manusia menemukan kesejatian diri, mengenal dan mengabdi pada Tian serta mengenal manusia dari proses menyelami hati merawat watak sejati. Tak ada lagi sekat-sekat, semua manusia bersaudara.

Mencapai level 3 tidak mudah karena melalui jalan yang terjal berliku, tak heran kebanyakan orang ada di level 1 dan 2. Apalagi dalam agama Khonghucu pendekatan level 3 bukan dimaksudkan dengan cara hidup mengasingkan diri tapi dengan hidup bersama sesama manusia, karena kita bukan cuma makhluk individu tapi makhluk sosial. Tugas kita bukan hanya menyempurnakan diri sendiri tapi menyempurnakan segenap wujud.

Pilihan ada di tangan Anda dan saya. 

Kalau saya sih ingin naik kelas.
Nabi bersabda, "Oranglah yang harus mengembangkan dao (Jalan Suci), bukan Jalan Suci yang mengembangkan manusia".
"Firman Tian itulah dinamai Watak Sejati. Berbuat mengikuti Watak Sejati itulah dinamai menempuh Jalan Suci. Bimbingan untuk menempuh Jalan Suci itulah dinamai agama." (US) 10102019

Postingan populer dari blog ini

SEMBAHYANG ARWAH (TAFSIR)

KING HOO PING (JING HAO PENG, JING HE PING)

KETELADANAN KEBAJIKAN GUAN GONG