AGAMA KHONGHUCU BERASAL DARI BUDDHA: SEBUAH CATATAN PERKULIAHAN

Salam Kebajikan,

Memasuki tahun kesepuluh saya mengajar Mata Kuliah agama Khonghucu, ada satu pertanyaan yang kerap terlontar dari para mahasiswa di awal perkuliahan, yaitu apa perbedaan antara agama Buddha dengan agama Khonghucu.

Pertanyaan sederhana namun esensial. Pertanyaan yang sama kerap terlontar saat saya mengobrol dengan kawan dan kolega dalam berbagai kesempatan. Inilah sebetulnya kebingungan yang ada dalam masyarakat.

Ada dua faktor penyebab utama terjadinya kebingungan tersebut. 

Yang pertama tentu saja karena kebijakan politik zaman orba yang menelikung agama Khonghucu. Penyebab kedua adalah ada sekelompok orang (rohaniwan agama, pengamat budaya, guru agama) dan lembaga agama tertentu (biasanya sinkretis) dengan berbagai alasan sengaja atau tidak sengaja mengaburkan untuk keuntungan kelompoknya. Diakui atau tidak mereka tidak bisa lepas dari pengaruh Khonghucu.

Saat perkuliahan kemarin, saya tanyakan lebih dahulu kepada mahasiswa apa yang dia ketahui. Ternyata penyebab kebingungan mahasiswa saya yang berasal dari salah satu SMA di Bangka adalah berasal dari apa yang diajarkan oleh guru agamanya—guru mata pelajaran agama Buddha—ketika dia belajar di SMA. 

Menurut sang guru, agama Khonghucu berasal dari agama Buddha. Persembahyangan yang dilaksanakan hampir mirip yaitu menggunakan dupa dan kertas doa yang dibakar karena berasal dari ajaran Buddha. Ada saji-sajian di meja sembahyang, hari persembahyangan seperti ziarah kubur (qing ming), sembahyang bacang (pehcun), sembahyang bulan ketujuh (jing he ping), sembahyang kue bulan (zhong qiu), sembahyang ronde (dongzhi) dan sembahyang lain diajarkan pula oleh sang guru SMA sebagai hari persembahyangan agama Buddha.

Bagi kita yang belajar sejarah, membaca buku dan Kitab Sishu Wujing serta mendalami agama, mudah saja mengetahui bahwa apa yang diajarkan oleh sang guru tak punya dasar yang dapat dipertanggungjawabkan. Bisa jadi pengetahuan sang guru tidak memadai dan mengambil referensi keliru atau faktor kesengajaan karena khawatir murid-muridnya pindah.

Setelah saya jelaskan mengenai beberapa perbedaan, di antaranya mengenai asal kedua agama (negeri Lu di Tiongkok dan Nepal), Kitab Suci (Sishu Wujing dan Tripitaka/Damapada), tempat ibadat, nabi, afterlife, sikap terhadap penderitaan, dan lain-lain, saya penasaran dan bertanya lebih lanjut kepada sang mahasiswa, "Orang tuamu di rumah biasa sembahyang pakai sajian daging tidak?" 

Dia jawab, "Pakai pak. Ada ayam, babi ikan, udang". 

Lalu dia mengatakan pada saya bahwa karena gurunya mengajarkan mengenai karma dan reinkarnasi, maka dia berusaha memberitahu mamanya agar tidak lagi menyajikan daging-daging tersebut. 

Mamanya menjawab, "Kita Khonghucu."

Lalu saya tanyakan pada mahasiswa,  "Apa yang diajarkan oleh gurumu mengenai persembahyangan-persembahyangan tadi?"

Yang menarik—menurut sang mahasiswa sesuai ajaran gurunya—persembahyangan persembahyangan itu untuk dewa-dewa. Misalnya persembahyangan zhong qiu dengan sajian kue bulan (tiongciu pia) adalah persembahyangan kepada Dewi Kwan im (guan yin).

Saya hanya bisa tersenyum. 

Entah memang begitu yang diajarkan gurunya atau bukan.

Perkuliahan berlanjut. Saya senang karena mahasiswa banyak bertanya dan mengemukakan pendapat sehingga saya banyak belajar dan mendapat informasi baru. 

Dengan demikian saya dapat introspeksi diri, apakah saya mengajar agama dengan penuh kejujuran dan integritas sesuai ajaran agama ataukah manipulatif demi kepentingan tertentu? (US) 15022020

Postingan populer dari blog ini

SEMBAHYANG ARWAH (TAFSIR)

KING HOO PING (JING HAO PENG, JING HE PING)

KETELADANAN KEBAJIKAN GUAN GONG