ANAK QILIN YANG TERLEPAS

Salam Kebajikan,

Beberapa tahun yang lalu ada seorang remaja diajak oleh mamanya untuk ikut kebaktian di salah satu litang di salah satu kota. Sang mama mengajak anaknya untuk beribadat di litang karena ingin agar anak-anaknya menjadi seorang penganut agama Khonghucu seperti dirinya. Ada kerinduan yang besar di samping rasa khawatir di hati kecilnya, karena sang anak bersekolah di sekolah berbasis agama tertentu yang begitu masif dan agresif mengajarkan nilai-nilai kepercayaan yang dipegang oleh sekolah.

Sang anak pada dasarnya gamang mengenai agama yang akan dianutnya, dan belum menentukan pilihan, maka dia tak keberatan untuk ikut mamanya beribadat.

Setelah beberapa kali ikut kebaktian, hati sang anak belum tergerak bahkan menyisakan banyak tanya tak terjawab.

Betapa tidak? 

Saat dia mencari sesuatu agar dapat menentukan pilihan, dia tak mengerti apa yang sedang dibahas oleh orang di atas mimbar sana. Bagi dirinya ibadat ini tak terasa pada getar hati, tak sanggup menggerakkan jiwanya yang haus mencari.

Bagi dia yang telah banyak (karena wajib) mengikuti peribadatan lain di sekolah, bertanya-tanya apakah ini peribadatan ataukah kelas tambahan sekolah di hari minggu yang menguras energi? 

Yang dijelaskan terasa rumit, tak membumi. Banyak istilah yang dia tak mengerti, dia pun tak tahu apakah yang dijelaskan cukup berharga buat bekal kehidupannya dan dapat menuntun pada jalan terang di saat dia salah arah, terantuk masalah. 

Dia hanya bisa tertawa kecut dalam hatinya dan berkata pada mamanya, "Ma, apa sih yang dijelaskan orang di atas mimbar sana? Aku tak mengerti." 

Sang mama hanya bisa tersenyum, tak tahu mesti berkata apa. 

"Inilah yang aku punya" hati sang mama menjawab tanpa terucap kata. 

Mama tak berdaya, karena dia pun selama bertahun-tahun, mengalami hal yang sama.

Karena rasa hormat pada keinginan mama, sang anak terus mencoba menemani mama untuk hadir beribadat di tempat yang semakin asing bagi dirinya. Untuk menghibur hati yang tak sempat terisi, dia pun kadang melontarkan canda. 

Sudah biasa sebagai seorang remaja gen Z bercanda dengan orang tuanya yang gen X. 

'Sudah biasa' itu bagi orang yang memahami siapa itu gen Z, generasi yang tak memisahkan hidup dalam dunia maya dan dunia nyata, generasi mandiri yang senantiasa ter-update, generasi yang dididik oleh generasi X yang mendapat pendidikan dari generasi baby boomers dan generasi tradisional yang 'kaku'. Generasi pendidik yang tak mengenal diskusi dengan anak, tak mau mendengarkan anak, hanya mau didengarkan anak. 

Akibatnya generasi X ingin mendidik anaknya dengan berbeda. Mendidik anaknya lebih terbuka, mau mendengarkan dan didengarkan, anak dapat berdiskusi dengan dirinya tidak seperti hubungan dirinya dengan orangtuanya dan dia menjadi 'kawan' anaknya serta banyak ciri-ciri lain yang berbeda dengan generasi sebelumnya. Masing-masing generasi mempunyai ciri berbeda.

Sayangnya ciri-ciri ini seringkali kurang dipahami oleh generasi sebelumnya dan hal ini rawan menimbulkan gesekan dan kesalahpahaman, bahkan konflik.

Setelah berminggu-minggu hadir beribadat tanpa tahu manfaat bagi dirinya, pada suatu minggu setelah beribadat, sang anak disapa oleh seorang umat dan setelah basa basi sebentar, umat tersebut mengajak sang anak untuk hadir kembali pada kebaktian minggu depan. 

Sang anak menjawab dengan candaan, "Insa Tian". 

Ternyata jawaban ini didengar oleh salah seorang rohaniwan. Reaksi sang rohaniwan terhadap 'candaan' ini adalah dengan memberi teguran langsung pada sang anak di depan umat yang lain,  sembari memberi nasihat dengan nada menggurui. Khas seorang yang lahir sebagai generasi berbeda dan dididik oleh generasi berbeda.

Itulah hari terakhir sang anak hadir di kebaktian. 

Sang anak tak mau lagi diajak oleh mamanya karena merasa tak nyaman, kecewa dan 'marah' atas apa yang terjadi pada dirinya. Kita kehilangan satu anak qilin.

Memang tak mudah mengurus manusia. Apalagi manusia yang sedang mencari terlebih dari generasi berbeda. Ada etikanya, ada seninya. Kita perlu banyak belajar dan mempraktekkan apa yang kita pelajari. 

Belajar ilmu agama sebagai dasar, tapi itu tidak cukup, ada ilmu-ilmu lain yang perlu dipelajari dan dipraktekkan agar kita tak lagi kehilangan anak qilin dan qilin-qilin dewasa. 

Tidak mudah memang, apalagi semua itu mesti dilakukan dalam semangat pengabdian, tanpa bayaran, hanya bermodal keyakinan orang yang berkebajikan besar itu niscaya menerima firman. (US) 25022020


Postingan populer dari blog ini

SEMBAHYANG ARWAH (TAFSIR)

KING HOO PING (JING HAO PENG, JING HE PING)

KETELADANAN KEBAJIKAN GUAN GONG