PERAYAAN SINCIA DAN CAPGOME: KITA MESTI GEMBIRA ATAU KHAWATIR?

Salam Kebajikan,

Tanggal 15 Zhengyue 2571 atau tanggal 8 Februari 2020 adalah hari penutup kita merayakan xin nian atau Tahun Baru Imlek dikenal sebagai capgome. Setelah 15 hari melaksanakan berbagai persembahyangan, bersilaturahmi kepada keluarga inti dan meluas kepada sanak saudara, kerabat dan teman serta sahabat dengan disemarakkan berbagai pesta perayaan.

Segala pesta dan perayaan xin nian 2571 memasuki titik akhir dan memang selayaknya dicukupkan. Sudah saatnya kita kembali bekerja, meneruskan karya mengisi kehidupan dalam alurnya. Sesuatu yang berlebihan tidaklah baik, sesuatu yang kebablasan akan membawa ekses negatif. Hukum aksi reaksi, sebab akibat berlaku.

Berkaitan dengan kondisi alam, tanggal 15 Zhengyue adalah hari saat es di Tiongkok—tempat penanggalan lunisolar atau sekarang secara salah kaprah dikenal sebagai penanggalan imlek;  digunakan sejak kaisar Han berkuasa di Tiongkok atas anjuran Nabi Kongzi  yang sekarang dapat kita baca dalam kitab Lunyu (Sabda Suci) XV:11 karena keberpihakan Beliau pada rakyat, yang ketika itu sebagian besar adalah petani—benar-benar telah mencair sehingga petani telah dapat mulai bercocok tanam.

Arak-arakan mengular, bunyi-bunyian ditabuh, bibit tanaman, dan perlengkapan dibawa serta untuk menyempurnakan persembahyangan, yang mengisyaratkan rasa syukur dan harapan masyarakat karena musim dingin benar-benar telah tak bersisa. Ditandai dengan telah mencairnya es dengan sempurna. Tanggal 15 rakyat menyelesaikan pesta dan mulai akan bekerja kembali.

Sembahyang dan tanda akan dimulainya bercocok tanam sebetulnya telah dimulai raja (saat Tiongkok masih kerajaan) saat hari pertama pergantian musim yang sekarang kita kenal sebagai tahun baru; raja bersembahyang dan secara simbolis mencangkul dan meluku tanah.


Tradisi religius yang tersurat dalam Liji (catatan kesusilaan) inilah yang akhirnya turun temurun diikuti hingga kini di berbagai penjuru nusantara dan kita kenal dengan perayaan capgome tanpa masyarakat tahu mengapa itu dilakukan. Maka orang mengatakan ini adalah tradisi turun menurun, sebagai bagian dari budaya dan tak ada kaitan dengan agama tertentu.

Mencermati perayaan xin nian dan capgome di Indonesia—dengan jargon Chinese New Year dan kirab budaya dengan segala macam atribut ketionghoaan yang dalam 20 tahun ini semakin lama semakin kental—di satu sisi mungkin membawa kegembiraan dan euforia pada orang-orang Tionghoa dalam merayakan kebebasan setelah dipasung selama 32 tahun. 

Di sisi lain bagi saya pribadi sebagai umat Khonghucu Indonesia meninggalkan kekhawatiran akan disalahartikan sebagai keangkuhan etnis tertentu yang mendapatkan keistimewaan, privileged, lebih diistimewakan oleh pemerintah dibandingkan etnis lain.

Menyisakan kekhawatiran sejarah akan terulang. Ada beban sejarah dan politik yang kita tanggung, yang bila tidak dikelola dengan baik, bisa saja berulang. Gejala itu sudah ada.

Ada paradoks dalam perayaan xin nian dan capgome. Bila tidak kita sadari bersama, di balik pesta gembira akan menimbulkan tanya, rasa iri, ketakpuasan dan mungkin saja kebencian.

Mungkin kita tak menyadari itu karena kita dalam euforia, tapi cobalah berpikir jernih. 

Jangan sampai ada anggapan etnis tionghoa menjadi istimewa dan diistimewakan. 


Tidak ada hari raya etnis lain di Indonesia yang dirayakan begitu 'besar-besaran' dengan berbagai atribut khas etnis tertentu yang semakin lama semakin menonjol, dan terus dicoba untuk dilepaskan dari kaitannya dengan agama.

Atau jangan-jangan hal ini oleh pihak tertentu memang sengaja dilakukan seperti dulu dengan maksud tertentu?

Seperti kata pepatah, ada serigala berbulu domba. Nyatanya di tahun 1967 kita dibelenggu oleh Inpres nomor 14.

Jangan kebablasan kalau Anda tidak ingin bablas, sehingga anak cucu menyesali dan menderita karena ulah kita yang tak tahu diri. Jangan sampai Anda dan saya terlambat menyesali karena nasi telah jadi bubur. Kita juga tak perlu saling caci saling mencederai.

Bandul politik selalu berubah, tidak abadi. Politik adalah kepentingan dan kekuasaan.

Jangan sampai orang-orang kembali 'alergi' pada xin nian dan capgome. 

Hati-hati politisasi.

Saya bersama teman-teman Khonghucu akan tetap mengutamakan peribadatan agama ketimbang pesta, menghindari politisasi yang bisa mengancam.

Mungkin Anda menganggap saya terlalu penakut?

Tanpa bermaksud membusungkan dada, saya sejak muda telah menjadi aktivis Khonghucu, berani menampilkan barongsai di zaman orba, dan saat pergantian rezim pernah memimpin demonstrasi menuntut persamaan hak-hak sipil umat, itu perlu keberanian ekstra. Memang tidak setara dengan keberanian Soe Hok Gie atau John Li dan para pemberani lainnya, tapi lumayan lah.

Saya hanya mengingatkan, karena saya mencintai Anda, dan negara ini.

Mudah-mudahan saya salah. (US) 07022020

Postingan populer dari blog ini

SEMBAHYANG ARWAH (TAFSIR)

KING HOO PING (JING HAO PENG, JING HE PING)

KETELADANAN KEBAJIKAN GUAN GONG