NAPAK TILAS KEHIDUPAN

Foto oleh Dayinta Sekar Pinasthika

Salam Kebajikan, 
惟德動天,

Beberapa hari terakhir saya banyak melakukan perjalanan napak tilas bersama istri di kota kelahiran saya, Bandung.

Saya mengunjungi sekolah dasar dan sekolah menengah pertama tempat saya dulu bersekolah. Saya tunjukkan kepada istri beberapa kelas tempat saya dulu memperoleh pendidikan dasar dan menengah. Saat menunjukkan kelas-kelas tersebut, berkelebat bayang kenangan yang tersisa, di kedalaman memori yang tertumpuk dengan beribu—bahkan mungkin berjuta—momen dan peristiwa yang mengiringi perjalanan hidup, baik yang saya sadari maupun tidak saya sadari. 

Ada nama-nama yang masih saya ingat, ada suara-suara samar yang masih saya dengar, ada kelebat bayangan gambar yang melintas di pikiran dan hati saya. Ada momen-momen indah, gembira, bahagia, cinta, kasih, sesal, sedih, marah, dan suka, semuanya terangkai dan membentuk diri saya yang sekarang.

Saat kami menelusuri jalan-jalan sempit yang saya lalui dulu saat pergi dan pulang sekolah, ada beribu bahkan berjuta jejak tersamar di jalanan itu—yang walaupun tak lagi sama bahkan telah begitu banyak berubah—masih menyisakan suara-suara dan bayangan peristiwa di kedalaman rasa yang sulit diceritakan dalam kata.

Bertahun-tahun langkah kaki kecil yang semakin melebar seiring bertambahnya usia menelusuri jalanan tersebut untuk menuntut ilmu dan pengalaman. Merasakan denyut kehidupan, aroma keringat dan selokan. Suara teriakan marah dan kasih sayang, melihat orang-orang berlalu lalang, bekerja, bercengkrama, dan bertengkar. Dari pengalaman-pengalaman di perkampungan yang dilalui inilah saya diajarkan tetap membumi, tetap sadar bahwa kehidupan begitu beraneka warna dan pola. Tidak satu warna, tidak satu strata, tidak satu ragam, tidak satu peristiwa.

Dalam perjalanan dan pengalaman di jalan-jalan sempit itulah—bukan sekedar di dalam kelas—sesungguhnya saya banyak belajar tentang kehidupan. Saat kita jaya dan kaya tak semestinya jumawa apalagi melupakan susila. Saat kita miskin, terkapar, dan lapar tak semestinya menggerutu, merasa rendah dan berduka lalu menjadi penjilat, tak lagi bergembira. Saya belajar bahwa miskin dan lapar, kaya dan jaya hanyalah rangkaian peristiwa yang tak perlu ditingkah polahi dengan kerja dan perbuatan yang mencederai kebenaran hingga tak lagi lurus dalam dao.

Kehidupan sebagai manusia di dunia ini terus berjalan tak pernah berhenti pada satu titik hingga maut datang menjemput. Beragam peristiwa yang dilihat, dirasakan dan diperbuat akan memperkaya atau mencederai tanggung jawab kita sebagai manusia. 

Pilihan ada di tangan kita. 

Kesadaran ini akan menempatkan kita pada satu pilihan bijak, bahwa dalam kehidupan ada hal-hal utama dan inti yang layak kita pegang, pertahankan dan jalani, yang tak layak dikaburkan oleh noktah-noktah hasrat dan syahwat tak bermakna.

Kadang ada rasa sesal pada apa yang telah kita lalui, kadang ada rasa bangga pada apa yang telah kita torehkan, kadang ada rasa pilu menimpa kita, kadang ada tawa membuncah mengiringi langkah kita. Semua akan menjadi warna, noktah, nilai, dan sejarah dalam keseluruhan puzzle kehidupan kita.

Hingga akhirnya di garis akhir perjalanan hidup kita, orang-orang, alam, dan Tuhan akan memberi kita nilai kelulusan kita sebagai manusia. Apakah kita manusia yang lulus sekolah dasar, sekolah menengah, S1, S2, atau S3 kehidupan?

Nilai itu diberikan bukan semata atas harta yang kita kumpulkan, tapi atas nilai dan karya kebajikan yang kita taburkan untuk keluarga, sesama, alam, dan Tuhan kita.

Sambil menggenggam erat jari jemari, istri dengan sabar mengiringi langkah kaki saya yang lebar tak lagi kecil seperti dulu, menelusuri jalan-jalan kecil yang terasa semakin sempit, entah memang benar-benar menyempit atau karena suara-suara, peristiwa dan bebauan yang mengiringi napak tilas ini.

Tatkala Nabi berdiri di tepi sebuah sungai, bersabda, "Semuanya mengalir pergi seperti ini. Siang malam tiada henti-hentinya."

Sekolah sedang bebenah, kelas-kelas tak lagi sama seperti saat saya bersekolah. (US) 10122020


Renungan: Lunyu I: 15, Lunyu IV:5, Lunyu XIV: 10, Lunyu XV:32, Lunyu IX: 17, dan Mengzi IVB:18.

Postingan populer dari blog ini

SEMBAHYANG ARWAH (TAFSIR)

KING HOO PING (JING HAO PENG, JING HE PING)

KETELADANAN KEBAJIKAN GUAN GONG