SEMBAHYANG DI ALTAR LELUHUR


Salam Kebajikan, 
惟德動天,

Salah satu hasrat terbesar saya di usia paruh baya adalah pulang kembali ke kota kelahiran saya, Bandung. Ada dorongan hati yang kuat agar saya tinggal di kota tempat altar almarhum orang tua dan leluhur berada. Agar saya dapat merawat rumah peninggalan orang tua serta bersembahyang dan mendoakan arwah orang tua serta leluhur yang telah mendahulu.

Bagi banyak orang, altar leluhur hanyalah sebuah peninggalan tradisi. Kita dapat melihat tradisi ini semakin hari semakin luntur. Semakin sedikit anak yang mau memelihara altar leluhur mereka dan dengan berbagai alasan terutama agar tidak merepotkan keturunan, semakin banyak orang tua yang memilih untuk tidak dibuatkan altar persembahyangan saat mereka berpulang. Begitulah, sebuah tradisi tanpa memahami hakikat dan asal usulnya akan tiba waktunya ditinggalkan.

Bagi saya, altar orang tua dan leluhur adalah sebuah fondasi nilai-nilai religius dan spiritual seorang umat Khonghucu, yang patut dan wajib dipelihara dan diteruskan dari generasi ke generasi. 

Dari sanalah agama akan berkembang dan nilai-nilai kebajikan akan tumbuh berkembang.

Dengan keberadaan altar leluhur saya dapat bersembahyang dan berdoa bagi ketenangan arwah orang tua dan leluhur, sehingga mereka bisa bersatu kembali dengan Tian (Pei Tian). Sambil terus mengenang budi baik orang tua dan leluhur yang telah mewujudkan keberadaan saya di atas dunia ini, terus mengingat agar saya tidak melakukan perbuatan yang memalukan, tapi melakukan perbuatan yang memberi kemuliaan pada orang tua dan leluhur, dengan menegakkan diri sesuai tuntunan kitab suci. 

Sambil juga memberi keteladanan kebajikan pada anak cucu generasi ke generasi, hingga akhirnya saya dan kemudian anak cucu akan diperlakukan sama oleh anak dan cucu mereka. Dengan demikian root culture (akar budaya) dan root religion (akar agama) kita tak lekang oleh zaman. 

Jadi kenapa kita tak mempunyai altar leluhur? 

Konon, orang Jepang membawa 'altar' leluhurnya ke mana pun mereka merantau.

Dunia terus mengalami perubahan, ada hal-hal tertentu yang tetap kita pertahankan, ada hal tertentu yang harus kita tinggalkan atau ubah.

Dalam mendidik dan memberi keteladanan pada anak-anak agar menjadi penerus, hal saji-sajian saya tidak kukuh mengharuskan. Syukur-syukur dapat menyediakan makanan yang disukai oleh almarhum atau menyediakan samseng dan buah-buahan. 

Kalau tidak ada, ya tidak apa-apa. Cukup sediakan air teh dan apa yang hendak kita makan. Hal sajian seringkali dianggap merepotkan dan menyebabkan anak-anak 'malas' bersembahyang. Maka tak apa kita tak kaku mengharuskan. Apalagi hal makanan di masing-masing daerah dan masa berbeda. Ini tradisi.

Agama mengajarkan pada kita untuk tidak meributkan sajian. Yang utama adalah perasaan dan kepantasan. Dengan demikian persembahyangan tetap dapat dilakukan. Itulah yang utama agar doa dapat dipanjatkan dan keteladanan dapat dilanjutkan. 

Namun demikian, sajian tidak untuk dihapuskan karena mengandung nilai spiritual dan simbolisasi.  

Kitab suci memberi pesan agar saat bersembahyang pada leluhur, kita mampu menghayati kehadiran leluhur. Sajian membantu olah rasa dan karsa kita dalam menghayati kehadiran orang tua dan leluhur dengan memberi asupan pada indra bahwa leluhur pernah dan terus hadir sepanjang kehidupan kita, seperti hadirnya makanan dan minuman sepanjang perjalanan hidup kita bersama mereka, satu kesatuan tak terpisahkan dengan memori dan karya kebajikan yang telah mereka lakukan dan wariskan pada kita.  

Di keluarga kecil saya, penggunaan hio dan lilin pun berbeda. Di hari-hari biasa, hio yang digunakan satu buah, lilin tidak dinyalakan. Saat tanggal 1 dan 15 serta hari-hari besar dan hari wafat orang tua (coki), hio yang digunakan dua buah, lilin dinyalakan. Ini tidak melanggar tata agama, tapi anak-anak tahu membedakan persembahyangan. Mudah-mudahan mereka dapat menangkap makna Li. Saya dengan sengaja mengajarkan pada anak-anak dan melakukannya.

Dengan upaya yang dilakukan secara konsisten dan perubahan seperlunya pada hal yang bukan hakiki, fondasi akar budaya dan akar agama dengan spiritualitas dan religiusitasnya punya harapan untuk dipertahankan dan dilanjutkan generasi ke generasi.

Saya masih teringat hampir tiga puluh tahun yang lalu air mata menggenang di pelupuk mata saya, saat saya pamit pada kedua orang tua untuk merantau ke Jakarta menggapai cita dan berupaya menegakkan diri dalam upaya menapaki tangga bakti menuju puncaknya.

Sekarang saatnya saya kembali ke kota kelahiran saya untuk menggenapkan bakti saya kepada orang tua dan leluhur, walau jasad mereka sudah menyatu dengan bumi, namun sebagai seorang umat Khonghucu bakti itu tidak lekang oleh waktu dan keberadaan jasad orang tua. Bakti itu tidak terbatas pada saat orang tua hidup.

Saya ingin merawat peninggalan orang tua dan altar orang tua, lebih banyak bersembahyang, dan berdoa bagi mereka sambil terus berupaya berkarya menegakkan diri.

Saya ingin menata rumah orang tua menjadi rumah yang dapat menggambarkan jejak-jejak kehidupan mereka, menjadi rumah yang dapat mengabadikan pesan-pesan mereka kepada kami anak cucu dan keturunan generasi ke generasi. Dengan demikian pesan papa dan mama agar kami tak menukar emas dengan kuningan tak terabaikan, tapi terus terpatri dalam keluarga kami. 

Semua sudah ada dalam pikiran, tinggal secara bertahap diwujudkan. (US) 13122020


Renungan: Zhongyong XVIII: 3, Lunyu III: 4, Lunyu III: 12, Mengzi VIIA: 5, LiJi XLI Hun Yi: 1, Lunyu II: 5, Mengzi IIIA: 2. Lunyu I: 11, Lunyu III: 17, Li Ji X Nei Ze I: 17.

Postingan populer dari blog ini

SEMBAHYANG ARWAH (TAFSIR)

KING HOO PING (JING HAO PENG, JING HE PING)

KETELADANAN KEBAJIKAN GUAN GONG