PERAYAAN SINCIA HINGGA TIGA TIPE KEPEMIMPINAN


Salam Kebajikan, 
惟德動天,

Beberapa hari yang lalu saya berkesempatan mengobrol melalui WA Call dengan seseorang yang kalau saya sebutkan namanya, kemungkinan besar Anda pernah mendengar. Saya sebut saja dengan inisial PJA. Saya menghubungi PJA karena ada salah seorang relasi meminta bantuan agar sang tokoh dapat menjadi pembicara di acara yang diadakan komunitasnya.

Jadilah kami mengobrol mengenai kondisi negeri ini, termasuk mengenai ketidakhadiran Presiden pada Perayaan Tahun Baru Imlek sebagai Hari Raya keagamaan tapi hadir dalam perayaan etnis. Bagi PJA hal ini dapat menimbulkan masalah serius dalam jangka panjang. Alasannya sederhana karena di Indonesia ada etnis yang lebih besar dari etnis Tionghoa yang bisa saja menuntut hak agar hari raya mereka dijadikan hari libur dan perayaannya dihadiri kepala negara.

Contoh kehadiran kepala negara dalam Perayaan Tahun Baru Imlek bernuansa etnis memberi gambaran jelas bahwa di Indonesia kepemimpinan adalah kepemimpinan transaksional berdasarkan kepentingan sesaat, bukan kepentingan bangsa.

Lebih lanjut PJA mengatakan bahwa pada dasarnya berbagai aspek kehidupan kenegaraan di negeri kita didominasi oleh kepemimpinan dan politik transaksional misalnya dalam hal UU Pemilu atau omnibuslaw.

Kepemimpinan transaksional adalah level kepemimpinan paling rendah diantara 3 tipe kepemimpinan yang terdiri atas kepemimpinan transaksional, transformasional, dan kepemimpinan moral.

Dengan analogi hubungan antara guru dengan murid, pemimpin transaksional selalu mendasarkan kepemimpinannya berdasarkan suara terbanyak. Kalau 75% muridnya mengatakan A, dan 25% mengatakan B, walaupun A adalah hal yang salah, maka pemimpin transaksional akan mengikuti pendapat 75% muridnya walaupun dia tahu hal tersebut keliru.

Di lain pihak, pemimpin transformasional merupakan pemimpin yang karismatik dan mempunyai peran sentral dan strategis dalam membawa organisasi mencapai tujuannya. Dia mempunyai kemampuan untuk menyamakan visi masa depan dengan bawahannya, serta mempertinggi kebutuhan bawahan pada tingkat yang lebih tinggi dari pada apa yang mereka butuhkan. Pemimpin transformasional takkan mengikuti 75% muridnya yang salah tersebut, tapi akan saja mengikuti yang 25%. Jadi keputusan yang diambil tidak selalu berdasarkan suara mayoritas kalau hal tersebut tidak sesuai dengan visi masa depan.

Di lain pihak, tipe kepemimpinan tertinggi adalah bila seorang pemimpin bukan hanya berbekal komitmen moral individual, tapi mampu berempati dengan suasana kebatinan rakyat seraya memiliki kemampuan komunikasi yang efektif untuk menggerakkan mereka. Moral dalam arti ini adalah kekuatan dan kualitas komitmen pemimpin dalam memperjuangkan nilai-nilai, keyakinan, tujuan, dan amanat penderitaan rakyat. Kekuatan moral pada akhirnya berkemampuan mengangkat manusia ke tingkat yang lebih tinggi, yakni level politik yang berorientasi kebajikan. Jauh dari sekedar kepentingan sesaat, pencitraan dan kepentingan ekonomi semata.

PJA mengutip ayat suci Alquran bahwa 'bila jalan bertiga, salah seorang dapat dijadikan pemimpin' serta ayat suci Sishu bahwa 'bila berjalan bertiga salah seorang dapat dijadikan guru'. Dari ayat tersebut PJA berkesimpulan bahwa pemimpin adalah guru. Selalu memilih yang baik lalu mengikutinya, serta memperbaiki yang tidak baik. Yang mendasari pilihannya adalah moral-kebajikan. Papa saya selalu mengatakan GURU: di Gugu (diikuti) dan ditiRu (diteladani). Kemana angin bertiup, ke situ rumput akan mengarah.

Bagaimana akibat dari kepemimpinan transaksional dan apa yang seyogianya diutamakan oleh seorang pemimpin? Coba Anda buka Mengzi IA: 1.

Semoga semua akan baik-baik saja.

Anda punya pendapat berbeda? 

Sah-sah saja. (US)

Postingan populer dari blog ini

SEMBAHYANG ARWAH (TAFSIR)

KING HOO PING (JING HAO PENG, JING HE PING)

KETELADANAN KEBAJIKAN GUAN GONG