NILAI-NILAI DIBALIK KEPUTUSAN


Salam Kebajikan, 
惟德動天,

Beberapa waktu yang lalu saya ditawari untuk mendapat vaksinasi COVID-19. Pada awalnya saya menolak karena saya bukan rohaniwan dan tidak berada di Jakarta, sehingga merasa tidak berhak untuk mendapat vaksinasi, namun saya diminta untuk menerima karena katanya termasuk 'tokoh' walau bukan rohaniwan.

Prioritas vaksinasi bukan hanya untuk rohaniwan tapi juga bagi tokoh-tokoh atau agamawan yang dalam tugas kesehariannya menuntut dia banyak berinteraksi dengan umat. Akhirnya tawaran itu saya terima walau saya sendiri bertanya-tanya apakah betul memenuhi kriteria. Tapi saya menghargai niat baik dan penghargaan orang yang menawarkan, yaitu Ws. Budi Suniarto, Ketua Harian Matakin. 

Lagipula saya harus menunjukkan pada umat  atau minimal keluarga bahwa vaksinasi yang sedang gencar dilaksanakan adalah aman. Maka tanggal 10 Maret yang lalu saya mendapatkan vaksinasi pertama di Bandung, kota kelahiran saya.

Hidup ini anomali, sementara orang-orang merasa dirinya berhak disebut tokoh, ada kawan saya mantan menteri di negeri ini yang merasa tak berhak memperoleh prioritas vaksinasi walau ditawari oleh berbagai pihak, karena merasa tak memenuhi kriteria sebagai 'tokoh' sehingga sampai hari ini beliau dan istrinya belum divaksin. Pertanyaan beliau adalah apakah kriteria ketokohan merupakan kriteria objektif ataukah subjektif? Saya kagum pada kerendahan hatinya.

Bagaimana dengan istri saya? Dia juga tak masalah tak memperoleh prioritas vaksin karena dia merasa bukan 'tokoh'. Saya juga enggan untuk mendaftarkan dia, karena dia tidak memenuhi kriteria.

Dalam masa pandemi ini, entah mengapa keluarga saya menerima bantuan sosial sembako. Kata Pak RT, ada tujuh keluarga di komplek perumahan yang memperoleh bantuan sosial tersebut. Saya merasa tak berhak menerimanya maka saya sampaikan ke Pak RT agar disalurkan kepada yang lebih membutuhkan.

Dalam masa pandemi ini juga ada privilege untuk para dosen dan guru agama Konghucu honorer untuk mendapat bantuan kuota internet, cuma saya merasa tak memerlukan bantuan tersebut karena masih mampu membeli sendiri. Maka saya tak urus. Biarlah, hitung-hitung meringankan beban negara.

Beberapa tahun yang lalu anak saya ditawari untuk mendapatkan Kartu Jakarta Pintar, tapi dia menolak.

Saya bangga dengan alasannya, "Kita kan tidak berhak ya, Pa? Banyak orang yang lebih berhak menerimanya." Maka dia tidak memperoleh KJP.

Saya bangga karena beberapa temannya yang cukup berada justru ngotot ingin mendapatkan KJP tersebut dengan melakukan berbagai cara.

Mungkin juga anak saya merasa gengsi untuk menerima karena penerima KJP adalah keluarga tidak mampu. Apapun alasannya saya pikir anak saya memang tak berhak memperoleh KJP dan sudah seharusnya dia menolak untuk menerima.

Dalam kehidupan, banyak sekali peristiwa-peristiwa sejenis terjadi dan perlu kita sikapi dengan bijaksana. Apakah Anda seperti saya ataukah mempunyai sikap dan pandangan berbeda? 

Terserah Anda.

Hidup adalah pilihan. 

Keputusan menerima atau tidak menerima ada di tangan kita masing-masing. Setiap orang mempunyai alasan dan asumsi masing-masing. Ada nilai-nilai keyakinan, etika dan moral yang mendasari apapun keputusan yang kita pilih. (US) 16032021

Postingan populer dari blog ini

SEMBAHYANG ARWAH (TAFSIR)

KING HOO PING (JING HAO PENG, JING HE PING)

KETELADANAN KEBAJIKAN GUAN GONG