LARANGAN DALAM NAMA DAN MARGA


Salam Kebajikan, 
惟德動天,

Setiap bangsa, etnis, atau suku bangsa mempunyai kekhasan sendiri dalam memberi nama pada anak, walau tidak bisa dipungkiri ada bangsa, etnis, atau suku bangsa—dengan berbagai alasan—terpengaruh oleh bangsa, etnis, suku bangsa, dan agama lain dalam memberi nama anak.

Pengaruh tersebut ada yang didapat dengan sukarela ada pula yang dipaksa atau terpaksa. Ada yang memberi dan mengganti nama karena peraturan perundangan, kebijakan politik, interaksi antar bangsa, agama, atau karena perkembangan zaman.

Salah satu contoh etnis yang terpaksa dan 'dipaksa' untuk mengganti nama karena peraturan dan kebijakan politik adalah etnis Tionghoa di Indonesia.

Sebelum tahun 1970-an mayoritas orang Tionghoa di Indonesia menggunakan dua atau tiga nama khas Tionghoa. Terkandung di dalamnya marga.

Anjuran penggantian nama Tionghoa menjadi nama 'Indonesia' dimulai dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden No. 240 Tahun 1967 tentang "Kebijaksanaan Jang Menjangkut Warga Negara Indonesia Keturunan Asing" atau Keppres 240/1967 yang menyarankan warga Tionghoa mengganti namanya menjadi nama Indonesia. Hal ini sejalan dengan kebijakan asimilasi yang dijalankan dan dipaksakan oleh Orde Baru.

Keppres ini bersifat anjuran, namun pada praktiknya hanya sedikit orang Tionghoa yang masih mempertahankan nama Tionghoa. Kebanyakan orang Tionghoa tidak mau mengalami kesulitan dengan bersikukuh mempertahankan nama khas Tionghoa.

Walau begitu sebetulnya tidak sedikit orang-orang Tionghoa yang tetap memberi nama anaknya dengan nama Tionghoa kendati dalam akta kelahiran dan dokumen resmi lain menggunakan nama 'Indonesia'. Indonesia dalam tanda kutip karena sebetulnya nama yang digunakan bukan benar-benar nama Indonesia tapi sangat dipengaruhi Barat, Romawi, Arab, atau Sansekerta.

Teman-teman saya banyak yang masih mempunyai nama kecil Tionghoa dan memberi nama Tionghoa kepada anak-anaknya. Begitu pula keluarga saya.
 

Pada beberapa marga, seperti keluarga saya biasanya mempunyai buku keluarga yang di dalamnya terkandung urutan generasi. Masing-masing urutan generasi sudah mempunyai nama tersendiri di samping marga, entah di tengah atau di belakang (bila tiga nama). Maka untuk nama, cukup dicari satu huruf dalam bahasa mandarin (hua yu) baik untuk nama tengah atau belakang.

Misal dalam keluarga saya, generasi saya telah mempunyai marga Lin (林) dan nama belakang Sheng (昇), sehingga kami kakak beradik laki-laki tinggal diberi nama tengah. Untuk anak laki-laki kakak laki-laki saya dan anak saya, semua telah mempunyai marga Lin (林) dan nama belakang Yu (玉). Untuk anak laki-laki dari anak laki-laki kakak laki-laki saya dan saya telah mempunyai marga Lin (林) dan nama belakang Li (立).

Nama belakang dalam keluarga saya mencakup 30 generasi, dan 30 huruf untuk nama belakang tersebut teruntai dalam bentuk syair yang indah.

Karena itulah anak-anak, saya beri nama belakang Yu (玉) dalam nama Tionghoanya. Berbeda dengan tradisi yang ada, saya memberi nama belakang anak saya baik laki-laki maupun perempuan sama. Dengan demikian anak perempuan dan anak laki-laki saya merasa setara dan diperlakukan adil. Keputusan ini ternyata sesuai dengan perkembangan zaman serta menghindari anggapan saya berat sebelah dan diskriminasi gender.

Bagi orang Tionghoa, terutama yang masih memegang kuat agama dan tradisi leluhur (Khonghucu), nama sangat penting. Nama yang tidak cocok dipercaya akan berpengaruh kurang baik pada anak. Sebaliknya nama yang didapat melalui perhitungan tungsu atau bazi atau perhitungan lain dan di dalamnya telah memasukkan waktu, tanggal, hari, shio, lima unsur, dan lain lain akan membawa kebaikan bagi anak. Dalam nama terkandung pula harapan orang tua. Dengan pertimbangan-pertimbangan inilah akhirnya nama akan didapat dan diberikan pada anak.

Orang tua memberi saya nama 林孔昇 dan Uung Sendana melalui proses itu. Begitu pula saya memberi nama anak-anak saya.

Nama lahir yang diberikan pada saya tidak sama dengan nama dalam dokumen resmi. Dalam akta lahir, nama saya 陳孔昇 lalu berganti nama menjadi Uung Sendana. Hal tersebut jamak terjadi. Papa dan mama tidak menikah catatan sipil, hanya kawin adat/agama sehingga saya menurut dokumen resmi negara adalah anak luar kawin. Istilah yang sebetulnya aneh, bagaimana saya bisa terlahir ke dunia tanpa ada perkawinan, memangnya saya children of god? Hehehe. Tapi itulah istilah yang digunakan dalam hukum perdata barat yang kemudian dikodifikasi menjadi hukum perdata Indonesia.


Apakah nama ada kaitannya dengan kitab suci? Sebetulnya sangat erat berkaitan dengan Kitab Suci Agama Konghucu, terutama berkaitan dengan kesusilaan. Ya bagaimanapun juga tak dapat dipungkiri Ru Jiao atau Agama Konghucu adalah akar dari tradisi/budaya (root culture) orang Tionghoa.

Kitab Liji (Catatan Kesusilaan) IA Qu Li III: 42 menegaskan.
"Dalam memberi nama anak seorang anak laki-laki tidak mengambil nama negara, tidak mengambil nama hari atau bulan, tidak menggunakan nama penyakit yang disembunyikan, juga tidak menggunakan nama gunung dan sungai."

Bukan itu saja, Kitab Liji XIV Da Chuan I: 8 menegaskan bahwa orang dengan marga yang sama tidak diperkenankan untuk menikah.
"Karena memudarnya jalinan marga dengan sanak familinya yang mendahulu, dan menghilangnya jalinan kekeluargaan karena perjalanan waktu bolehkah antara mereka melakukan perkawinan? Karena nama marga itu tetap mengikat dan tidak terpilah, jalinan masih tetap dapat berlangsung dalam jamuan (tatkala berkumpul dalam Miao leluhur); maka antara mereka tidak dapat menikah sekalipun setelah seratus generasi. Itulah Jalan Suci Dinasti Zhou."

Sebagai umat Khonghucu, tentu saja saya tak berani melanggar apa yang tercatat dalam kitab suci yang merupakan pesan para sheng (nabi/orang suci). Dengan sukarela saya patuh mengikuti. Maka saya dan keluarga berhati-hati dalam memberi nama dan mencari jodoh.

Dengan punya nama Tionghoa apakah saya tidak cinta Indonesia? 

Tentu saja tak perlu diragukan saya 100% cinta Indonesia dan saya orang Indonesia.
 
Saya pikir Anda pun begitu. (US) 15052021

Postingan populer dari blog ini

SEMBAHYANG ARWAH (TAFSIR)

KING HOO PING (JING HAO PENG, JING HE PING)

KETELADANAN KEBAJIKAN GUAN GONG