BETAPA PENTING PENDIDIKAN


Salam Kebajikan, 
惟德動天,

Pendidikan begitu penting dan sangat menentukan kemajuan peradaban suatu bangsa. Sekelompok orang-orang terdidik biasanya menjadi lokomotif kemerdekaan dan pembangunan suatu bangsa. Namun demikian, pemerataan pendidikan yang akan berperan menentukan apakah kemajuan yang dicapai akan mampu terawat dan berlangsung lama. 

Betapa pentingnya pendidikan dalam suatu negara dipesankan dalam kitab kitab suci kita seperti dapat kita baca di bawah ini.

Li Ji XVI Xue Ji: 1-3 
"Bila penguasa selalu memikirkan atau memperhatikan perundang-undangan, mencari orang baik dan tulus, ini cukup untuk mendapat pujian, tetapi tidak cukup untuk menggerakkan orang banyak. Bila ia berusaha mengembangkan masyarakat yang bajik dan bijak, dan dapat memahami mereka yang jauh, ini cukup untuk menggerakkan rakyat, tetapi belum cukup untuk mengubah rakyat. Bila ingin mengubah rakyat dan menyempurnakan adat istiadatnya, dapatkah kita tidak harus melalui pendidikan?"

2. Batu kumala (Yu) bila tidak dipotong atau diukir tidak akan menjadi perkakas (benda berharga); dan orang bila tidak belajar tidak akan mengerti Jalan Suci. Maka, raja zaman kuno itu, di dalam membangun negara, memimpin rakyat, masalah belajar mengajar selalu didahulukan. Nabi Yue bersabda, "Ingatan dari awal sampai akhir hendaknya bertaut kepada belajar." Ini kiranya memaksudkan hal itu.

3. Biar ada makanan lezat, bila tidak dimakan, orang tidak tahu bagaimana rasanya; biar ada Jalan Suci yang Agung, bila tidak belajar, orang tidak tahu bagaimana kebaikannya. Maka belajar menjadikan orang tahu kekurangan dirinya, dan mengajar menjadikan orang tahu kesulitannya. Dengan mengetahui kekurangan dirinya, orang dipacu mawas diri; dan dengan mengetahui kesulitannya, orang dipacu menguatkan diri (Zi Qiang). Maka dikatakan, "Mengajar dan belajar itu saling mendukung." Nabi Yue bersabda, "Mengajar itu setengah belajar." (Shu Jing IV. VII. C. 5) Ini kiranya memaksudkan hal itu.

Betapa penting pendidikan budi pekerti/karakter dalam membangun negara yang kuat, dapat kita simak dalam Mengzi IA: 3.5 dan 5.3.
"....Dirikan rumah-rumah pendidikan sehingga rakyat dapat mengenal tugas Bakti dan Rendah Hati, dengan demikian tidak sampai terjadi orang yang sudah beruban masih harus memikul barang di tengah jalan..."

"Bila baginda dapat menjalankan pemerintahan yang berdasarkan Cinta Kasih kepada rakyat, meringankan hukuman-hukuman, mengurangi beban-beban pajak, sehingga rakyat dapat baik-baik membajak dan menggaru sawahnya; kepada para pemuda pada saat-saat terluang diberi pendidikan Laku Bakti, Rendah Hati, Satya, dan Dapat Dipercaya, sehingga ke dalam dapat mengabdi kepada ayah-bunda serta saudara-saudaranya, dan keluar dapat mengabdi kepada para tua-tua serta atasannya. Bila dapat dilakukan ini, mereka dapat disuruh dengan senjata tongkat saja untuk mematahkan serangan negeri Qin  dan Chu yang tentaranya menggunakan perisai yang tebal dan senjata yang tajam itu."
Pendidikan sejatinya merupakan proses belajar seumur hidup untuk menjadi manusia seutuhnya. Dalam bahasa agama, pendidikan mendorong siswa untuk terus melaksanakan pembinaan diri.

Dengan pendidikan seperti ini, pendidikan bukanlah sekedar memacu perkembangan ilmu dan teknologi tapi menjadikan nilai-nilai kebajikan sebagai fondasi. Dengan demikian siswa bukan saja mengembangkan akal, tapi mengembangkan budi untuk menjadi manusia seutuhnya.

Berkaca pada pengalaman selama lebih dari sepuluh tahun bergulat di dunia pendidikan baik sebagai pengajar, penulis dan penelaah buku, peserta maupun pembicara dalam berbagai seminar dan diskusi pendidikan dan keagamaan, saya merasakan ada yang keliru dalam proses dan arah pendidikan bangsa kita.

Walaupun Undang-Undang Sisdiknas maupun peraturan pemerintah dan peraturan menteri berisi untaian kalimat indah, pada kenyataannya tidak menyentuh perubahan yang diperlukan dalam proses dan arah pendidikan kita sesuai Pancasila dan amanat Konstitusi.

Ada dua hal utama yang perlu dikritisi dalam proses dan arah pendidikan bangsa kita.

Yang pertama adalah mengenai para birokrat. Bukan hal yang aneh para penulis buku, penelaah, peserta maupun narasumber tidak mendapatkan apa yang seharusnya dia terima sebagai haknya. Perilaku koruptif dalam birokrasi seakan sudah membudaya. Apa yang diatur dan dikatakan hanya sebagai hiasan pemanis semata. 'Keuntungan' pribadi dan kelompok berada di atas nilai-nilai kebajikan dan kepentingan bangsa dan negara. Para pelaku koruptif ini adalah produk pendidikan selama ini. Pandai tapi kurang mempunyai hati dan tidak berbudi pekerti luhur. Tak heran, bila para pemimpin, pejabat dan birokrat menjadikan keuntungan berada di atas kebajikan, maka rakyat akan melakukan hal yang sama. Kata Mengzi perilaku pemimpin, pejabat, dan birokrat seperti itu sama saja mengajarkan rakyat berebut.

Yang kedua adalah pendidikan kita terlalu mengedepankan kemampuan analitis, logis. Dalam praktik, pendidikan karakter terkesan hanya sebagai pemanis dan sekedar memenuhi standar minimum. Coba lihat apa yang diajarkan pada pendidikan Sekolah Dasar. Kemampuan membaca, menulis, dan matematika ditempatkan sebagai prioritas, di lain pihak pendidikan budi pekerti/karakter seakan menjadi anak tiri yang berdiri di luar rumah pendidikan bukan menjadi fondasi pendidikan siswa.

Tak heran produk pendidikan seperti ini tidak membentuk manusia seutuhnya. Efeknya terlihat dalam perilaku masyarakat yang mengalami dekadensi moral. Dengan kasat mata, perilaku koruptif dan segregasi sosial seakan membudaya.

Dalam sistem pendidikan sekarang, coba Anda perhatikan bagaimana penghargaan yang diberikan pada para guru humaniora seperti para guru kewarganegaraan, Pancasila dan agama dibandingkan dengan guru-guru lainnya. Satu kata yang dapat digunakan: memprihatinkan.

Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan karakter/budi pekerti bukanlah prioritas di negara kita. Padahal semestinya pendidikan karakter/budi pekerti menjadi ruh pendidikan kita. Para guru, bukan saja guru humaniora tapi semua guru seyogianya memberi keteladanan dalam perilaku, bukan sekedar dalam kata-kata.

Orang-orang berbudi pekerti luhur yang menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi seharusnya menjadi 'produk' pendidikan kita. Maka pendidikan budi pekerti luhur baik berdasarkan agama maupun nilai-nilai kebajikan universal seharusnya ditanamkan sejak usia dini, mendahului kemampuan calistung.

Tanpa perubahan proses dan arah pendidikan kita, bangsa kita akan sulit bersaing dengan negara-negara lain karena 'produk' pendidikan kita bukanlah manusia yang seutuhnya. Langkah awal perubahan proses dan pendidikan kita adalah menempatkan orang-orang bersih dalam birokrasi pendidikan kita dengan pengawasan yang ketat, bila perlu pengawasan dari luar, misal dengan menempatkan auditor profesional, bukan dari dalam. 

Selanjutnya sistem numerasi perlu diubah. Para pendidik sekolah dasar diberikan gaji yang lebih besar beriringan dengan perubahan titik berat pendidikan dasar menjadi pembentukan budi pekerti luhur/karakter. Dengan demikian pendidikan tinggi bagi para guru sekolah dasar perlu dilakukan perubahan agar menunjang perubahan sistem pendidikan tersebut. 

Perubahan semestinya dimulai dari sini.

Tanpa upaya serius diiringi pengawasan ketat dan menempatkan orang-orang berbudi pekerti luhur, perubahan apapun yang dilakukan takkan dapat berjalan dan peraturan-peraturan tersebut hanya akan jadi untaian kata indah yang berfungsi sebagai pemanis dan pada akhirnya akan membebani dan membingungkan para siswa dan mahasiswa seperti selama ini banyak dikeluhkan: ganti menteri ganti kurikulum hanya menyusahkan saja.

Mari kita renungkan kembali makna hakiki peringatan Hari Pendidikan Nasional setiap tanggal 2 Mei.

Atau kita sudah melupakan karena kita sudah tak memiliki hati dan dalam otak kita selalu bertanya keuntungan apa yang kita dapatkan? (US) 02052021

Postingan populer dari blog ini

SEMBAHYANG ARWAH (TAFSIR)

KING HOO PING (JING HAO PENG, JING HE PING)

KETELADANAN KEBAJIKAN GUAN GONG